Diberdayakan oleh Blogger.
Foto saya
baca dan nikmati perjalanan kali ini.

Followers

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

diantara roda-roda Antarjaya

Agak tergesa kusematkan si kepik di jilbabku. Beberapa menit sudah lewat dari jadwal semestinya aku berangkat. Setelah memastikan penampilanku wajar dan tidak norak, aku segera menyambar tas dan menyelipkan jari jemari kaki di sandal ungu-ku satu-satunya. Aku mengayun langkah pertama, setengah berlari.

Satu jam lagi aku berjanji akan tiba di rumah seorang teman SMA. Kini ia menetap di Kalimantan, mengikuti sang suami yang bertugas disana. Rasa kangen bergosip membuat aku berinisiatif menemuinya. Mumpung ia sedang di tanah Jawa. Biar keliatan agak berbobot, kubilang bahwa aku ingin menengoknya yang sedang hamil. Hehehe.

Setelah melewati areal persawahan, aku bertemu dengan gerombolan ayam dibalik jeruji kayu. Aku baru ingat kalau hari itu bertepatan dengan hari Kamis. Hari pasaran di desaku. Aku berdiri mematung didepan pasar. Mataku mengawasi jalan raya, bersiap naik seandainya bus besar yang akan membawaku ke Purwokerto tiba.

Beberapa bus kecil lewat. Kugelengkan kepala. Aku memilih menunggu lebih lama untuk bus besar, daripada mengambil kemungkinan aku akan kesal di tengah jalan. Bus kecil jalannya lebih lambat, sebab ia mengangkut penumpang jarak dekat. Sebentar-sebentar berhenti. Ada perempatan, berhenti beberapa jenak. Ngetem istilahnya. Aku akan kesal karena bus kecil memakan waktu tempuh yang lebih lama. Dan aku akan lebih kesal lagi, ketika berada didalam bus kecil yang sedang merangkak, bus besar menyalip dengan gagah dari sebelah kanan. Rasanya mengejekku karena tidak sabar menunggu sedikit lagi. Argh!

Jadi kuputuskan tetap berdiri ditengah hari yang menjelang siang.

Tapi bus besar memang datangnya lama. Santoso datang. Ternyata jurusan ke Cilacap. Aku berbalik dan menunggu lagi. Beberapa menit berlalu, sampai aku akhirnya berada di perut Antarjaya. Aku duduk di satu-satunya kursi yang ada, deret bangku paling belakang. Nyempil diantara penumpang lain yang lebih dulu berada disana.

Biasanya aku senang dengan bus yang lajunya kencang. Tapi ini lain dari biasanya. Antarjaya melaju kencang, dan aku duduk di bangku paling belakang, tertampar-tampar angin dari samping kiri. Baru 10 menit perjalanan ketika bus melewati sebuah jembatan yang menanjak. Kecepatan bus juga tidak menurun ketika melewati sebuah jembatan. Hasilnya, penumpang di jok belakang terlonjak dari duduknya, sampai setengah berdiri. Untung aku sempat meraih pembatas pintu, kupegang erat-erat. Jantungku berdegub kencang. Aku lantas membayangkan adegan demi adegan didalam film Transporter. Lalu aku ingat sopirnya tidak selihai John Statham. Rasa takutku kemudian menjalar dengan cepat.
***

Beruntung, selepas Buntu, bus berjalan dengan kecepatan yang terkendali. Kernet yang duduk di sebelahku mulai asyik tertidur. Beberapa pengamen mulai naik. Suara gitar dan kicauan pengamen masuk ke gendang telinga, berebut dengan deru mesin dan suara angin. Tidak jelas mana yang mendominasi, sebab aku pun sibuk dengan suara-suara di pikiranku sendiri. Sehabis mengamen, mereka mengelompok di dekat pintu belakang bus. Satu pengamen selesai, pengamen yang lain sudah menunggu giliran mereka berdendang. Bergantian pula dengan pedagang getuk goreng menjajakan barang dagangannya kepada penumpang bus jarak jauh yang –barangkali saja- kelaparan dan tidak membawa bekal makan.

Kalau naik bus besar, aku selalu memilih tempat duduk disamping kaca, deretan tengah, tidak terlalu depan, apalagi belakang. Baru kali ini aku duduk di bangku paling belakang, dan sendirian. Bila dideret depan atau tengah, aku sebagai penumpang selalu mendapat sajian musik pengamen dan penawaran barang-dagangan pedagang. Namun, aku tidak mendapatkannya ketika duduk di bangku paling belakang. Rasanya, manusia-manusia yang duduk disana bukanlah penumpang yang menjadi target konsumen. Tapi lebih dianggap sebagai kawan.

Didepan deret bangku paling belakang, ada sebuah ruang kosong yang biasanya diperuntukkan sebagai tempat barang-barang bawaan penumpang yang bervolume besar. Juga untuk penumpang-penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Ruang itu juga digunakan oleh pengamen untuk tempat transit sebelum mereka sampai ke tempat tujuan berikutnya. Disitulah mereka, yang mengakrabi kehidupan jalanan saling menyapa dan berkeluh tentang pendapatan hari ini atau tentang apa saja. Rasanya seperti berada di panggung belakang. Mereka pemain yang saling melepas lelah setelah selesai berlaga, ber-acting atau melakukan performa di panggung depan, di front stage sana. Mereka melepas kostum mereka disini, di back stage.

Roda bus rupanya telah sampai di daerah Sokaraja. Ban berdecit, tanda sang sopir menginjak rem dalam-dalam. Bus berhenti di sebuah simpang tiga. Jika berbelok kanan, maka akan menuju ke Purbalingga. Bus yang kutumpangi berbelok ke kiri, menuju Purwokerto. Didekat simpang tiga ini, terdapat sebuah Klenteng. Karenanya simpang ini kerap disebut pertigaan Klenteng. Di simpang inilah, seorang bocah laki-laki turun. Aku menaksir umurnya tidak lebih dari 10 tahun.

Berkaus superman -lengkap dengan sayap di belakangnya-, bocah itu naik dari daerah Kejawar, Banyumas. Dari penampilannya yang tidak terawat, aku hampir yakin, bocah itu hidup di jalan. Sewaktu naik, sorot matanya kebingungan. Juga ketakutan. Aku terus memperhatikannya. Menunggu gilirannya beraksi. Ia berdiri diam didekat pintu belakang bus, sambil berkontak mata dengan si kernet yang masih juga tidur. Dan itu saja yang dilakukannya sampai kemudian ia turun di Klenteng. Setelah menginjakkan kaki kecilnya di tanah, bocah itu berlari entah kemana.

“Getuk Goreng Asli 4, kiri” seruku. Bis berhenti. Asap hitamnya menyembur wajahku, barangkali sebagai ganti lambaian tangan. Melihat bus besar itu melaju, aku baru menyadari bahwa rutinitas yang kulalui hari ini: naik bis dari rumah menuju Purwokerto, terasa berbeda.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

nobody

seperti tidak ada sesuatupun di dunia ini yang sempurna, begitu pula manusia.

tapi, sekali lagi karena tidak ada manusia yang sempurna, maka ia seringkali lupa bahwa ia tidak sempurna. juga lupa bahwa manusia lain juga sama tidak sempurnanya. manusia lain itu bisa tetangganya, orangtuanya, istrinya, suaminya, anaknya.

tidak ada yang sempurna. dan mau berusaha seperti apapun, tidak akan bisa menjadi sempurna.

sempurna hanya ada di dalam kepala, karena itu ia tidak akan bisa diwujudkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

mau temani aku ngopi, gak?

aduh, tiba-tiba ingat kalau sudah lama sekali sejak terakhir kali ngopi-ngopi malam-malam di sebuah kafe.

membicarakan hobi, uang, laki-laki, orangtua dan yang paling santer belakangan ini: pekerjaan.

ladies, bersiaplah untuk malam yang panjang!


hahahaa

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

galau

detak ini mewakili pada setiap detik
yang melambat, naik dengan cepat juga berlarian tanpa jeda

kupilih dinding dan lantai untuk menemani

kutengok ke dalam,
tubuhku layu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

kosong-kosong

jika kebingungan menjadi satu dari fase yang harus dilewati setiap manusia, untuk kemudian menemukan dirinya sendiri,

maka apa yang akan terjadi pada manusia yang kebingungan dan pada saat bersamaan dikejar-kejar oleh banyak tuntutan?
tidak mampu melewati fasenya dengan baik, dan akhirnya menjadi pribadi yang kosong: banyak bergerak namun sebenarnya tidak melakukan gerakan apapun.

bagaimana bisa membangun sebuah rumah dengan pribadi yang kosong?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

merengek

terpaksa kupilih tombol merah di ujung kanan.
tak sanggup berlama-lama melihat senyumnya.

lumpuh aku karena rindu.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ternyata aku tidak bisa menulis

Pikiran itu muncul setelah dua tulisanku kacau balau. Iya, kacau balau dalam arti yang sebenarnya. Sudut pandang yang tidak semestinya, alur yang tidak mengalir. Yang paling parah, melenceng dari tujuan tulisan itu sendiri. Diksi apalagi yang pantas, untuk tulisan yang mengalami editing dari segi sudut pandang?

Padahal, kupikir, itu bukan tulisan yang susah-susah amat. Yah, fakta itu membuat kepercayaan diriku menurun. Kemampuan menulisku turun. Mungkin tidak drastis, tapi aku tau aku pernah menulis lebih baik dari ini. Melewati proses editing yang berulang kali, dan melampaui banyak batas deadline. Disaat aku sangat membutuhkan tulisan ini untuk aktualisasi diri.

Aku khawatir tulisanku diterima karena kasihan, bukan karena memang layak.
Poor me..

Tapi aku ingin maju, jadi aku terima proses ini. Biar aku suntuk, aku mau tulisan ini selesai. Layak tampil, setidaknya. Satu simpul yang terlihat adalah, sepertinya aku meremehkan pekerjaan ini.

See?
(karena dipandang)Sepele lalu menjadi rumit.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

tiba-tiba

ingin punya facebook, twitter dan semua jejaring pertemanan lain yang terhubung ke banyak orang, hanya untuk satu hal:

mengumumkan pada semua orang bahwa kami telah terikat.
dan secepatnya akan mengikat diri dalam perjanjian yang berat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

meski hanya mengutip

I don't love you as if you were the salt-rose, topaz
or arrow of carnations that propagate fire:

I love you as certain dark things are loved,
secretly, between the shadow and the soul.

I love you as the plant that doesn't bloom and carries
hidden within itself the light of those flowers.

And thanks to your love, darkly in my body
lives the dense fragrance that rises from the earth.

I love you without knowing how, or when, or from where,
I love you simply, without problems or pride:
I love you in this way because I don't know any other way of loving

but this, in which there is no I or you,
so intimate that your hand upon my chest is my hand,
so intimate that when I fall asleep it is your eyes that close

- Pablo Neruda: Love Sonnet XVII -

*seperti yang aku kirimkan kepada A disana.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

demi kita

menjadi produktif,

ketika sendiri apalagi ketika berdua.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Duduk di atas Kotak Sejarah

Tinggal di sebuah kota selama bertahun-tahun, tidak lantas membuatmu mudah menemukan tempat untuk duduk dan sekedar berbincang. Lebih dari lima tahun aku menghirup udara Purwokerto, nyatanya aku masih saja kebingungan mencari tempat nongkrong. Kami –aku dan travelmateku- berputar-putar cukup lama tanpa arah yang jelas. Namun, kombinasi udara siang yang panas, dan sinar mentari yang terik memaksaku cepat-cepat mencari sebuah tempat duduk lengkap dengan meja, untuk keperluan menulis. Akhirnya kami memutuskan mengarahkan laju kendaraan ke arah barat Purwokerto, menuju sebuah warung kopi.

Di tengah jalan, nyala merah sebuah lampu lalu lintas memaksa kami berhenti. Dan tepat disitulah aku melihat sebuah bangunan tinggi di persimpangan jalan. Tidak, ini bukan pertama kalinya aku melihat bangunan tersebut dan berfikir untuk memasukinya. Kali ini aku berfikir, kenapa tidak memasukinya sekarang saja? Celetukku ditanggapi dengan baik oleh kembarku yang dengan segera merubah arah laju fluffy –sebuah motor bebek lawas yang setia. Maka disinilah kami, menyalahi rencana mencari tempat yang nyaman untuk menulis dan justru bersiap memasuki sebuah bangunan dengan plang bertuliskan “Museum Bank BRI”.

Kami meninggalkan fluffy di tempat parkir yang sempit, lalu melangkah melewati pintu samping. Dugaanku salah. Ternyata pintu ini tidak membawa kami menuju museum. Rupanya bangunan ini terdiri dari dua bagian utama; Museum Bank BRI dan Bank BRI itu sendiri. Namun tidak sulit untuk membedakan pintu menuju kedua ruang tersebut. Perbedaannya cukup kontras, pintu kaca untuk kantor Bank BRI dan pintu model jadul untuk masuk ke museum. Kami memilih pintu jadul nan terawat, dengan tulisan black&white sederhana di atas selembar kertas A4 yang memastikan bahwa itu adalah pintu masuk menuju museum.

Kami memasuki museum dengan leluasa; sebab tak ada satpam yang menjaga dan pengunjung yang hanya beberapa. Aku mengambil jalan ke kanan, melihat-lihat pajangan mata uang dari masa-masa. Ada mata uang dari masa kerajaan Majapahit, Belanda hingga beberapa mata uang yang pernah digunakan Indonesia dari dulu hingga sekarang. Beberapa lukisan yang dipajang menceritakan bagaimana system peminjaman uang pada masa dahulu. Terlihat beberapa orang sedang mengantri di teras depan rumah Raden Aria, menunggu giliran bertemu dengan Raden Aria untuk mengajukan pinjaman uang. Pada lukisan yang lain, digambarkan pula bangunan yang menjadi cikal bakal BRI di Purwokerto.

Setelah deretan lukisan, aku mendapati beberapa koleksi pakaian kebesaran Raden Aria Wiriaatmaja beserta istri. Koleksi jas yang dahulu dipakai oleh beliau, pakaian kehormatan, hingga rompi yang selalu dipakai. Sepintas dengar, aku memang mengetahui kalau Raden Aria Wiriaatmaja adalah pendiri Bank BRI. Namun, aku lantas bertanya-tanya, dimanakah cerita mengenai pendiri tersebut dan sejarah berdiri Bank yang lahir di Purwokerto ini?

Perhatianku teralihkan oleh sesuatu yang lebih menarik. Sebuah ruang tiga dimensi yang memancarkan banyak warna. Dengan seksama kuperhatikan deretan diorama tersebut. Aha, ternyata disini ceritanya! Diorama-diorama tersebut menunjukkan kejadian-kejadian penting dalam sejarah berdiri Bank yang dalam perjalanannya pernah bernama Bank De Poerwokertosche Hulp en Spaar Bank Inlandsche Bestur Ambtenaren itu.

Secara resmi, BRI berdiri pada tahun 1968. Namun, kegiatan pinjam meminjam yang menjadi dasar berdirinya bank tersebut sudah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya. Dikisahkan pada suatu ketika pada tahun 1894, Raden Aria yang saat itu menjadi patih di Kabupaten Purwokerto menghadiri sebuah hajatan. Adalah seorang guru yang mengadakan acara hajatan nan meriah untuk anaknya yang baru saja dikhitan. Kondisi pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang guru untuk mengadakan hajatan yang mewah. Pemikiran itu yang mendasari Raden Aria untuk menyelidiki lebih lanjut. Hingga akhirnya diketahui bahwa untuk mendanai hajatannya, sang guru meminjam uang kepada rentenir dengan bunga yang sangat tinggi. Sejak saat itulah, Raden Aria menggunakan system pinjaman a la Bank kepada rakyat Purwokerto.

Yang menarik, Raden Aria memulai kegiatan pinjam meminjam tersebut dengan cara mengelola uang kas masjid. Mengetahui hal tersebut, pemerintah Belanda memerintahkan Raden Aria untuk menghentikan kegiatannya. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda mengeluarkan mandat untuk mendirikan sebuah bank simpan pinjam dibawah pemerintahan Belanda.

Bank tersebut terus beroperasi dan semakin memiliki banyak nasabah. Melalui banyak perubahan dan perombakan disana sini, BRI nyatanya tetap bertahan hingga kini, bahkan telah menjadi Bank yang berskala nasional.
Yah, aku terpikat pada cerita-cerita yang menempel di kaca pembungkus diorama-diorama tersebut. Pertama, karena sejarah tersebut mengenai sesuatu yang besar namun sejatinya berasal dari kotaku sendiri. Yah, aku menyebut Purwokerto sebagai kotaku. Meski aku hanya menumpang tinggal disini, namun banyak hal di hidupku yang terjadi disini dan itulah yang membuat aku menghargai Purwokerto. Kedua, karena kehebatan orang-orang di balik pembuat diorama tersebut. Aku dan kembar¬-ku berdecak kagum, mengagumi keindahan diorama tersebut. Satu hal yang kami amati adalah, si pembuat sangat memperhatikan detail untuk menggambarkan kejadian dengan sempurna. Miniatur orang dibuat dengan memperhatikan mimik muka, gerakan badan yang alami, lipatan kain yang terbentuk karena gerakan tubuh, hingga –ini yang paling aku kagumi- pemilihan pakaian. Si pembuat menggunakan kain jarik yang berbeda-beda motifnya sesuai kasta yang disandang. Setahuku, kain jarik memang mempunyai banyak corak, dan corak-corak tersebut merepresentasikan strata-strata sosial dalam masyarakat. Bagiku, detail itu sangat membantu pengunjung untuk mengenali orang-orang yang ada dan mempermudah membaca situasi.

Menjelajahi sejarah BRI dalam kotak museumnya, akan menjadi menarik jika kita tahu lebih awal tentang sejarah berdiri BRI. Sayangnya, aku membaca cerita tersebut justru ketika aku melangkah menuju pintu keluar. Sepertinya, museum BRI membutuhkan sedikit papan yang menunjukkan rute penjelajahan museum. Atau setidaknya tanda panah yang menuntun langkah kaki pengunjung. Yang tentunya, dimulai dari cerita mengenai sejarah berdirinya Bank Rakyat Indonesia.

Selangkah lagi menuju pintu keluar, aku melihat sebuah tangga berputar menuju kebawah. Kami saling berpandangan, sebelum kemudian kaki-kaki kami secara serentak menuruni tangga tersebut. Tiba-tiba aku merasa kami sedang menuju ruang bawah tanah tempat penyimpanan peralatan sihir. Yah, bukan salahku berimajinasi seperti itu. Lantai bawah ini, jauh lebih sepi dan dingin ketimbang lantai atas. Hiyy!

Ah, rupanya lantai bawah ini juga menyimpan koleksi-koleksi BRI dari masa ke masa. Jika lantai atas banyak menampilkan foto, lukisan dan diorama, maka lantai bawah menyuguhkan secara tiga dimensi benda-benda penting dalam sejarah perjalanan BRI. Mesin ketik, mesin penghitung uang kertas dan logam serta brankas penyimpanan uang ditampilkan dalam banyak model dan usia. Di tiap-tiap mesin bekas tersebut, ditampilkan pula informasi di kantor cabang mana dan tahun berapa mesin tersebut pernah digunakan.
Melewati deretan logam-logam tersebut, terpampang sebuah papan yang menampilkan beberapa struktur direksi sejak awal mula berdirinya Bank BRI. Tak jauh dari gambar para direksi BRI, terlihat symbol-symbol yang pernah dan menjadi logo BRI saat ini. Beberapa sertifikat dan penghargaan turut pula dipajang. Sama dengan lantai atas, lantai bawah pun dibiarkan sepi tanpa satpam apalagi kamera pengawas. Benar-benar museum yang terasing.
Setelah memastikan tak ada lagi yang belum kami pelototi, kami lantas naik keatas dan lekas mencari sesuatu yang bisa kami duduki. Ya, berjalan memutari museum cukup membuat kami yang tak pernah berolahraga merasakan kelelahan. Baik di lantai atas maupun bawah, tak ada kursi atau sesuatu yang menyerupai kursi. Susahnya mencari tempat duduk. Jangan-jangan gara-gara tak ada kursi, tak ada pula pengunjung yang datang? Syukurlah kami menemukan kursi kosong di sebelah pos satpam yang juga kosong. Kami duduk, menghela napas dan minum perbekalan air. Fyuhh.

Habis sudah waktu untuk berlibur, kembar-ku mengingatkan. Yah, ia dikejar deathline menulis, yang berarti kalau tidak menepati tenggat waktu (line) ya mati saja (death). Hehehe. Kami lalu meluncur diatas jalanan bersama fluffy, masih dengan perdebatan yang sama: “Mau duduk dimana setelah ini?”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

*SIGH

lama sekali rasanya aku meninggalkan tempat ini.
lama sekali tak kukunjungi.

dan kau tau, apa yang akan kutulis setelah sekian lama aku tak menulis?

alih-alih menulis tentang sesuatu yang 'waw', aku justru tak punya apa-apa untuk kutulis.
pikiran sedang suntuk, hidup seperti berhenti begitu saja, detak nadi melambat.

semuanya tenang dan berjalan menyenangkan, bahkan selalu ada angin sepoi-sepoi.
diam yang menusuk, kenyamanan yang membunuh.

kata Putri di blognya, there's always a little pain, behind every "it's okay".

SIGH.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

cokelatpanas

coklat panas meleleh di mulut,
lumer, cair, menyisa pahit di ujung lidah

lima senti didepanku, terduduk sebuah wajah
samar kabut mengaburkan air mukanya

"coklatnya pahit" kataku.
ia mengulurkan satu gelas lagi.
lagi, kucicip isinya.

"coklatnya pahit" kataku, lagi.
kali ini ia mengulurkan sebuah kertas.
coklat memang pahit, tulisnya.
tapi ia menenangkan, lanjutnya setelah jeda spasi.

aku diam.
ia diam.
kami diam.

diam...
diam, diam...
diam, diam, diam...
diam, diam, diam, diam, diam...

hening itu menusuk.

lalu ia merentangkan tangan.
ia tahu aku lelah.
tapi ia juga sangat tahu, aku belum lagi mau melepas baju besi.

bahkan untuk sekedar menerima peluknya.

aku beringsut, mulai beranjak dari duduk.
ia melakukan gerakan yang persis sama.
berdiri, berbalik badan kekanan, ia kekiri, lalu kami saling memunggungi.

kutinggalkan lemari dengan cermin besar didepannya.

ditanganku tergenggam kertas yang kuremas,
tertulis didalamnya;
sudah waktunya bangun.
jangan mati dalam tidur.


*hot chocolate for two, please.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS