Diberdayakan oleh Blogger.
Foto saya
baca dan nikmati perjalanan kali ini.

Followers

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Mbingsrung



Menjadi orang yang berperasaan halus (baca: sensitif) memang tidak mudah. Merasa salah terhadap apa-apa yang terjadi di sekitarnya, merasa salah terhadap tindakannya, dan terkadang, disalahkan karena merasa salah. Karena menjadi orang yang sensitif.


Barangkali yang perlu dilakukan adalah, menutup setengah telinga. Berpikir yang penting-penting saja. Dan, berusaha keras terhadap diri sendiri.

Mbingsrung, kalau kata pak Kukuh.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Mencoba (menulis) lagi...

Predikat sebagai yang sempurna, -menurut saya- hampir pasti melenakan. Contohnya, manusia yang terlena sebab terbuai dengan gelar makhluk sempurna.

Mungkin ini efek tiba-tiba saja ya. Saya baru saja menyelesaikan satu bab buku berjudul Bioteknologi. Buku terbitan Insist Press hasil kerjasama dengan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo) ini berisi kumpulan essai mengenai bioteknologi.

Di beberapa essai awal, saya dipusingkan dengan istilah-istilah dalam bidang pertanian. Seperti apomiksis, transgen, rGBH and bla, and bla, bla, bla...

Hingga satu bab selesai dan hingga beberapa kali membuka-buka lagi halaman depan, saya pun masih bingung. Tapi -sepertinya- ada satu benang merah yang bisa saya ambil. Bahwa manusia sungguh sangat serakah.

Beberapa essai yang saya baca mengisahkan tentang usaha suatu perusahaan 'menciptakan' organisme baru hasil rekayasa genetika, dan mempatenkannya. Organisme tersebut akan memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi si empunya perusahaan. Dan, tentu saja, sesuai dengan prinsip ekonomi, menggunakan biaya yang sesedikit mungkin.

Bahkan mungkin, prinsip ekonomi itu salah satu yang mendasari pembentukan perusahaan tersebut.

Sayangnya, organisme hasil rekayasa genetis itu pun membawa banyak dampak buruk bagi lingkungan, dan bahkan keberlangsungan ekosistem.

Kesalahan pertama adalah, melanggar hak hidup si organisme untuk hidup 'normal' sebagai organisme, bukannya sebagai mesin produksi. Kedua, dengan itu pula, sebenarnya si perusahaan sama saja dengan melakukan pembantaian umat manusia besar-besaran.

Kalau bukan karena serakah, sebab apa lagi coba?

Akan tiba saatnya nanti, manusia menyadari bahwa ternyata mereka tidak bisa memakan uang dan menelan kartu atm.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

diantara roda-roda Antarjaya

Agak tergesa kusematkan si kepik di jilbabku. Beberapa menit sudah lewat dari jadwal semestinya aku berangkat. Setelah memastikan penampilanku wajar dan tidak norak, aku segera menyambar tas dan menyelipkan jari jemari kaki di sandal ungu-ku satu-satunya. Aku mengayun langkah pertama, setengah berlari.

Satu jam lagi aku berjanji akan tiba di rumah seorang teman SMA. Kini ia menetap di Kalimantan, mengikuti sang suami yang bertugas disana. Rasa kangen bergosip membuat aku berinisiatif menemuinya. Mumpung ia sedang di tanah Jawa. Biar keliatan agak berbobot, kubilang bahwa aku ingin menengoknya yang sedang hamil. Hehehe.

Setelah melewati areal persawahan, aku bertemu dengan gerombolan ayam dibalik jeruji kayu. Aku baru ingat kalau hari itu bertepatan dengan hari Kamis. Hari pasaran di desaku. Aku berdiri mematung didepan pasar. Mataku mengawasi jalan raya, bersiap naik seandainya bus besar yang akan membawaku ke Purwokerto tiba.

Beberapa bus kecil lewat. Kugelengkan kepala. Aku memilih menunggu lebih lama untuk bus besar, daripada mengambil kemungkinan aku akan kesal di tengah jalan. Bus kecil jalannya lebih lambat, sebab ia mengangkut penumpang jarak dekat. Sebentar-sebentar berhenti. Ada perempatan, berhenti beberapa jenak. Ngetem istilahnya. Aku akan kesal karena bus kecil memakan waktu tempuh yang lebih lama. Dan aku akan lebih kesal lagi, ketika berada didalam bus kecil yang sedang merangkak, bus besar menyalip dengan gagah dari sebelah kanan. Rasanya mengejekku karena tidak sabar menunggu sedikit lagi. Argh!

Jadi kuputuskan tetap berdiri ditengah hari yang menjelang siang.

Tapi bus besar memang datangnya lama. Santoso datang. Ternyata jurusan ke Cilacap. Aku berbalik dan menunggu lagi. Beberapa menit berlalu, sampai aku akhirnya berada di perut Antarjaya. Aku duduk di satu-satunya kursi yang ada, deret bangku paling belakang. Nyempil diantara penumpang lain yang lebih dulu berada disana.

Biasanya aku senang dengan bus yang lajunya kencang. Tapi ini lain dari biasanya. Antarjaya melaju kencang, dan aku duduk di bangku paling belakang, tertampar-tampar angin dari samping kiri. Baru 10 menit perjalanan ketika bus melewati sebuah jembatan yang menanjak. Kecepatan bus juga tidak menurun ketika melewati sebuah jembatan. Hasilnya, penumpang di jok belakang terlonjak dari duduknya, sampai setengah berdiri. Untung aku sempat meraih pembatas pintu, kupegang erat-erat. Jantungku berdegub kencang. Aku lantas membayangkan adegan demi adegan didalam film Transporter. Lalu aku ingat sopirnya tidak selihai John Statham. Rasa takutku kemudian menjalar dengan cepat.
***

Beruntung, selepas Buntu, bus berjalan dengan kecepatan yang terkendali. Kernet yang duduk di sebelahku mulai asyik tertidur. Beberapa pengamen mulai naik. Suara gitar dan kicauan pengamen masuk ke gendang telinga, berebut dengan deru mesin dan suara angin. Tidak jelas mana yang mendominasi, sebab aku pun sibuk dengan suara-suara di pikiranku sendiri. Sehabis mengamen, mereka mengelompok di dekat pintu belakang bus. Satu pengamen selesai, pengamen yang lain sudah menunggu giliran mereka berdendang. Bergantian pula dengan pedagang getuk goreng menjajakan barang dagangannya kepada penumpang bus jarak jauh yang –barangkali saja- kelaparan dan tidak membawa bekal makan.

Kalau naik bus besar, aku selalu memilih tempat duduk disamping kaca, deretan tengah, tidak terlalu depan, apalagi belakang. Baru kali ini aku duduk di bangku paling belakang, dan sendirian. Bila dideret depan atau tengah, aku sebagai penumpang selalu mendapat sajian musik pengamen dan penawaran barang-dagangan pedagang. Namun, aku tidak mendapatkannya ketika duduk di bangku paling belakang. Rasanya, manusia-manusia yang duduk disana bukanlah penumpang yang menjadi target konsumen. Tapi lebih dianggap sebagai kawan.

Didepan deret bangku paling belakang, ada sebuah ruang kosong yang biasanya diperuntukkan sebagai tempat barang-barang bawaan penumpang yang bervolume besar. Juga untuk penumpang-penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Ruang itu juga digunakan oleh pengamen untuk tempat transit sebelum mereka sampai ke tempat tujuan berikutnya. Disitulah mereka, yang mengakrabi kehidupan jalanan saling menyapa dan berkeluh tentang pendapatan hari ini atau tentang apa saja. Rasanya seperti berada di panggung belakang. Mereka pemain yang saling melepas lelah setelah selesai berlaga, ber-acting atau melakukan performa di panggung depan, di front stage sana. Mereka melepas kostum mereka disini, di back stage.

Roda bus rupanya telah sampai di daerah Sokaraja. Ban berdecit, tanda sang sopir menginjak rem dalam-dalam. Bus berhenti di sebuah simpang tiga. Jika berbelok kanan, maka akan menuju ke Purbalingga. Bus yang kutumpangi berbelok ke kiri, menuju Purwokerto. Didekat simpang tiga ini, terdapat sebuah Klenteng. Karenanya simpang ini kerap disebut pertigaan Klenteng. Di simpang inilah, seorang bocah laki-laki turun. Aku menaksir umurnya tidak lebih dari 10 tahun.

Berkaus superman -lengkap dengan sayap di belakangnya-, bocah itu naik dari daerah Kejawar, Banyumas. Dari penampilannya yang tidak terawat, aku hampir yakin, bocah itu hidup di jalan. Sewaktu naik, sorot matanya kebingungan. Juga ketakutan. Aku terus memperhatikannya. Menunggu gilirannya beraksi. Ia berdiri diam didekat pintu belakang bus, sambil berkontak mata dengan si kernet yang masih juga tidur. Dan itu saja yang dilakukannya sampai kemudian ia turun di Klenteng. Setelah menginjakkan kaki kecilnya di tanah, bocah itu berlari entah kemana.

“Getuk Goreng Asli 4, kiri” seruku. Bis berhenti. Asap hitamnya menyembur wajahku, barangkali sebagai ganti lambaian tangan. Melihat bus besar itu melaju, aku baru menyadari bahwa rutinitas yang kulalui hari ini: naik bis dari rumah menuju Purwokerto, terasa berbeda.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

nobody

seperti tidak ada sesuatupun di dunia ini yang sempurna, begitu pula manusia.

tapi, sekali lagi karena tidak ada manusia yang sempurna, maka ia seringkali lupa bahwa ia tidak sempurna. juga lupa bahwa manusia lain juga sama tidak sempurnanya. manusia lain itu bisa tetangganya, orangtuanya, istrinya, suaminya, anaknya.

tidak ada yang sempurna. dan mau berusaha seperti apapun, tidak akan bisa menjadi sempurna.

sempurna hanya ada di dalam kepala, karena itu ia tidak akan bisa diwujudkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS