tag:blogger.com,1999:blog-34066056386739353092024-03-08T13:11:18.461-08:00Dongeng Nasi Putihcerita sepanjang perjalananhaniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.comBlogger56125tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-4546521783507477102012-07-04T07:15:00.001-07:002012-07-04T07:15:11.311-07:00Mbingsrung<br />
<br />
Menjadi orang yang berperasaan halus (baca: sensitif) memang tidak mudah. Merasa salah terhadap apa-apa yang terjadi di sekitarnya, merasa salah terhadap tindakannya, dan terkadang, disalahkan karena merasa salah. Karena menjadi orang yang sensitif.<br />
<br />
<br />
Barangkali yang perlu dilakukan adalah, menutup setengah telinga. Berpikir yang penting-penting saja. Dan, berusaha keras terhadap diri sendiri.<br />
<br />
Mbingsrung, kalau kata pak Kukuh.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-60585414825957126742012-04-04T12:14:00.000-07:002012-04-04T12:14:18.827-07:00Mencoba (menulis) lagi...<i>Predikat sebagai yang sempurna, -menurut saya- hampir pasti melenakan. Contohnya, manusia yang terlena sebab terbuai dengan gelar makhluk sempurna.</i> <br />
<br />
Mungkin ini efek tiba-tiba saja ya. Saya baru saja menyelesaikan satu bab buku berjudul Bioteknologi. Buku terbitan Insist Press hasil kerjasama dengan Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam Indonesia (Konphalindo) ini berisi kumpulan essai mengenai bioteknologi.<br />
<br />
Di beberapa essai awal, saya dipusingkan dengan istilah-istilah dalam bidang pertanian. Seperti apomiksis, transgen, rGBH <i>and bla, and bla, bla, bla</i>...<br />
<br />
Hingga satu bab selesai dan hingga beberapa kali membuka-buka lagi halaman depan, saya pun masih bingung. Tapi -sepertinya- ada satu benang merah yang bisa saya ambil. Bahwa manusia sungguh sangat serakah.<br />
<br />
Beberapa essai yang saya baca mengisahkan tentang usaha suatu perusahaan 'menciptakan' organisme baru hasil rekayasa genetika, dan mempatenkannya. Organisme tersebut akan memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi si empunya perusahaan. Dan, tentu saja, sesuai dengan prinsip ekonomi, menggunakan biaya yang sesedikit mungkin.<br />
<br />
Bahkan mungkin, prinsip ekonomi itu salah satu yang mendasari pembentukan perusahaan tersebut.<br />
<br />
Sayangnya, organisme hasil rekayasa genetis itu pun membawa banyak dampak buruk bagi lingkungan, dan bahkan keberlangsungan ekosistem.<br />
<br />
Kesalahan pertama adalah, melanggar hak hidup si organisme untuk hidup 'normal' sebagai organisme, bukannya sebagai mesin produksi. Kedua, dengan itu pula, sebenarnya si perusahaan sama saja dengan melakukan pembantaian umat manusia besar-besaran.<br />
<br />
Kalau bukan karena serakah, sebab apa lagi coba? <br />
<br />
<i>Akan tiba saatnya nanti, manusia menyadari bahwa ternyata mereka tidak bisa memakan uang dan menelan kartu atm.</i>haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-33499038898437571402011-12-11T02:38:00.000-08:002011-12-11T02:38:28.458-08:00diantara roda-roda AntarjayaAgak tergesa kusematkan si kepik di jilbabku. Beberapa menit sudah lewat dari jadwal semestinya aku berangkat. Setelah memastikan penampilanku wajar dan tidak norak, aku segera menyambar tas dan menyelipkan jari jemari kaki di sandal ungu-ku satu-satunya. Aku mengayun langkah pertama, setengah berlari.<br />
<br />
Satu jam lagi aku berjanji akan tiba di rumah seorang teman SMA. Kini ia menetap di Kalimantan, mengikuti sang suami yang bertugas disana. Rasa kangen bergosip membuat aku berinisiatif menemuinya. Mumpung ia sedang di tanah Jawa. Biar keliatan agak berbobot, kubilang bahwa aku ingin menengoknya yang sedang hamil. Hehehe.<br />
<br />
Setelah melewati areal persawahan, aku bertemu dengan gerombolan ayam dibalik jeruji kayu. Aku baru ingat kalau hari itu bertepatan dengan hari Kamis. Hari pasaran di desaku. Aku berdiri mematung didepan pasar. Mataku mengawasi jalan raya, bersiap naik seandainya bus besar yang akan membawaku ke Purwokerto tiba.<br />
<br />
Beberapa bus kecil lewat. Kugelengkan kepala. Aku memilih menunggu lebih lama untuk bus besar, daripada mengambil kemungkinan aku akan kesal di tengah jalan. Bus kecil jalannya lebih lambat, sebab ia mengangkut penumpang jarak dekat. Sebentar-sebentar berhenti. Ada perempatan, berhenti beberapa jenak. Ngetem istilahnya. Aku akan kesal karena bus kecil memakan waktu tempuh yang lebih lama. Dan aku akan lebih kesal lagi, ketika berada didalam bus kecil yang sedang merangkak, bus besar menyalip dengan gagah dari sebelah kanan. Rasanya mengejekku karena tidak sabar menunggu sedikit lagi. Argh!<br />
<br />
Jadi kuputuskan tetap berdiri ditengah hari yang menjelang siang.<br />
<br />
Tapi bus besar memang datangnya lama. Santoso datang. Ternyata jurusan ke Cilacap. Aku berbalik dan menunggu lagi. Beberapa menit berlalu, sampai aku akhirnya berada di perut Antarjaya. Aku duduk di satu-satunya kursi yang ada, deret bangku paling belakang. <i>Nyempil</i> diantara penumpang lain yang lebih dulu berada disana.<br />
<br />
Biasanya aku senang dengan bus yang lajunya kencang. Tapi ini lain dari biasanya. Antarjaya melaju kencang, dan aku duduk di bangku paling belakang, tertampar-tampar angin dari samping kiri. Baru 10 menit perjalanan ketika bus melewati sebuah jembatan yang menanjak. Kecepatan bus juga tidak menurun ketika melewati sebuah jembatan. Hasilnya, penumpang di jok belakang terlonjak dari duduknya, sampai setengah berdiri. Untung aku sempat meraih pembatas pintu, kupegang erat-erat. Jantungku berdegub kencang. Aku lantas membayangkan adegan demi adegan didalam film <i>Transporter</i>. Lalu aku ingat sopirnya tidak selihai <i>John Statham</i>. Rasa takutku kemudian menjalar dengan cepat.<br />
***<br />
<br />
Beruntung, selepas Buntu, bus berjalan dengan kecepatan yang terkendali. Kernet yang duduk di sebelahku mulai asyik tertidur. Beberapa pengamen mulai naik. Suara gitar dan kicauan pengamen masuk ke gendang telinga, berebut dengan deru mesin dan suara angin. Tidak jelas mana yang mendominasi, sebab aku pun sibuk dengan suara-suara di pikiranku sendiri. Sehabis mengamen, mereka mengelompok di dekat pintu belakang bus. Satu pengamen selesai, pengamen yang lain sudah menunggu giliran mereka berdendang. Bergantian pula dengan pedagang getuk goreng menjajakan barang dagangannya kepada penumpang bus jarak jauh yang –barangkali saja- kelaparan dan tidak membawa bekal makan.<br />
<br />
Kalau naik bus besar, aku selalu memilih tempat duduk disamping kaca, deretan tengah, tidak terlalu depan, apalagi belakang. Baru kali ini aku duduk di bangku paling belakang, dan sendirian. Bila dideret depan atau tengah, aku sebagai penumpang selalu mendapat sajian musik pengamen dan penawaran barang-dagangan pedagang. Namun, aku tidak mendapatkannya ketika duduk di bangku paling belakang. Rasanya, manusia-manusia yang duduk disana bukanlah penumpang yang menjadi target konsumen. Tapi lebih dianggap sebagai kawan.<br />
<br />
Didepan deret bangku paling belakang, ada sebuah ruang kosong yang biasanya diperuntukkan sebagai tempat barang-barang bawaan penumpang yang bervolume besar. Juga untuk penumpang-penumpang yang tidak kebagian tempat duduk. Ruang itu juga digunakan oleh pengamen untuk tempat transit sebelum mereka sampai ke tempat tujuan berikutnya. Disitulah mereka, yang mengakrabi kehidupan jalanan saling menyapa dan berkeluh tentang pendapatan hari ini atau tentang apa saja. Rasanya seperti berada di panggung belakang. Mereka pemain yang saling melepas lelah setelah selesai berlaga, ber-acting atau melakukan performa di panggung depan, di <i>front stage</i> sana. Mereka melepas kostum mereka disini, di <i>back stage</i>.<br />
<br />
Roda bus rupanya telah sampai di daerah Sokaraja. Ban berdecit, tanda sang sopir menginjak rem dalam-dalam. Bus berhenti di sebuah simpang tiga. Jika berbelok kanan, maka akan menuju ke Purbalingga. Bus yang kutumpangi berbelok ke kiri, menuju Purwokerto. Didekat simpang tiga ini, terdapat sebuah Klenteng. Karenanya simpang ini kerap disebut pertigaan Klenteng. Di simpang inilah, seorang bocah laki-laki turun. Aku menaksir umurnya tidak lebih dari 10 tahun.<br />
<br />
Berkaus superman -lengkap dengan sayap di belakangnya-, bocah itu naik dari daerah Kejawar, Banyumas. Dari penampilannya yang tidak terawat, aku hampir yakin, bocah itu hidup di jalan. Sewaktu naik, sorot matanya kebingungan. Juga ketakutan. Aku terus memperhatikannya. Menunggu gilirannya beraksi. Ia berdiri diam didekat pintu belakang bus, sambil berkontak mata dengan si kernet yang masih juga tidur. Dan itu saja yang dilakukannya sampai kemudian ia turun di Klenteng. Setelah menginjakkan kaki kecilnya di tanah, bocah itu berlari entah kemana.<br />
<br />
“Getuk Goreng Asli 4, kiri” seruku. Bis berhenti. Asap hitamnya menyembur wajahku, barangkali sebagai ganti lambaian tangan. Melihat bus besar itu melaju, aku baru menyadari bahwa rutinitas yang kulalui hari ini: naik bis dari rumah menuju Purwokerto, terasa berbeda.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-88505159451034180772011-11-22T20:27:00.000-08:002011-11-22T20:27:37.295-08:00nobodyseperti tidak ada sesuatupun di dunia ini yang sempurna, begitu pula manusia.<br />
<br />
tapi, sekali lagi karena tidak ada manusia yang sempurna, maka ia seringkali lupa bahwa ia tidak sempurna. juga lupa bahwa manusia lain juga sama tidak sempurnanya. manusia lain itu bisa tetangganya, orangtuanya, istrinya, suaminya, anaknya.<br />
<br />
tidak ada yang sempurna. dan mau berusaha seperti apapun, tidak akan bisa menjadi sempurna.<br />
<br />
sempurna hanya ada di dalam kepala, karena itu ia tidak akan bisa diwujudkan.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-73195647723595219052011-10-01T01:29:00.000-07:002011-10-01T01:29:29.687-07:00mau temani aku ngopi, gak?aduh, tiba-tiba ingat kalau sudah lama sekali sejak terakhir kali ngopi-ngopi malam-malam di sebuah kafe.<br />
<br />
membicarakan hobi, uang, laki-laki, orangtua dan yang paling santer belakangan ini: pekerjaan.<br />
<br />
ladies, bersiaplah untuk malam yang panjang!<br />
<br />
<br />
hahahaahaniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-90959856316283769162011-10-01T01:10:00.000-07:002011-10-01T01:10:27.894-07:00galaudetak ini mewakili pada setiap detik<br />
yang melambat, naik dengan cepat juga berlarian tanpa jeda<br />
<br />
kupilih dinding dan lantai untuk menemani<br />
<br />
kutengok ke dalam,<br />
tubuhku layu.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-78096862953161529772011-08-05T02:03:00.000-07:002011-08-05T02:03:50.133-07:00kosong-kosongjika kebingungan menjadi satu dari fase yang harus dilewati setiap manusia, untuk kemudian menemukan dirinya sendiri,<br />
<br />
maka apa yang akan terjadi pada manusia yang kebingungan dan pada saat bersamaan dikejar-kejar oleh banyak tuntutan?<br />
tidak mampu melewati fasenya dengan baik, dan akhirnya menjadi pribadi yang kosong: banyak bergerak namun sebenarnya tidak melakukan gerakan apapun.<br />
<br />
bagaimana bisa membangun sebuah rumah dengan pribadi yang kosong?haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-78842348475023605682011-08-05T01:50:00.000-07:002011-08-05T01:50:53.081-07:00merengekterpaksa kupilih tombol merah di ujung kanan.<br />
tak sanggup berlama-lama melihat senyumnya.<br />
<br />
lumpuh aku karena rindu.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-52542293635918796992011-06-14T02:17:00.000-07:002011-06-14T02:17:07.184-07:00ternyata aku tidak bisa menulisPikiran itu muncul setelah dua tulisanku kacau balau. Iya, kacau balau dalam arti yang sebenarnya. Sudut pandang yang tidak semestinya, alur yang tidak mengalir. Yang paling parah, melenceng dari tujuan tulisan itu sendiri. Diksi apalagi yang pantas, untuk tulisan yang mengalami editing dari segi sudut pandang?<br />
<br />
Padahal, kupikir, itu bukan tulisan yang susah-susah amat. Yah, fakta itu membuat kepercayaan diriku menurun. Kemampuan menulisku turun. Mungkin tidak drastis, tapi aku tau aku pernah menulis lebih baik dari ini. Melewati proses editing yang berulang kali, dan melampaui banyak batas deadline. Disaat aku sangat membutuhkan tulisan ini untuk aktualisasi diri.<br />
<br />
Aku khawatir tulisanku diterima karena kasihan, bukan karena memang layak.<br />
Poor me.. <br />
<br />
Tapi aku ingin maju, jadi aku terima proses ini. Biar aku suntuk, aku mau tulisan ini selesai. Layak tampil, setidaknya. Satu simpul yang terlihat adalah, sepertinya aku meremehkan pekerjaan ini.<br />
<br />
See?<br />
(karena dipandang)Sepele lalu menjadi rumit.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-35900697114945972702011-06-08T00:45:00.000-07:002011-06-08T00:45:14.572-07:00tiba-tibaingin punya facebook, twitter dan semua jejaring pertemanan lain yang terhubung ke banyak orang, hanya untuk satu hal:<br />
<br />
mengumumkan pada semua orang bahwa kami telah terikat.<br />
dan secepatnya akan mengikat diri dalam perjanjian yang berat.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-59230921322551131162011-05-24T22:08:00.000-07:002011-05-24T22:08:05.317-07:00meski hanya mengutipI don't love you as if you were the salt-rose, topaz<br />
or arrow of carnations that propagate fire:<br />
<br />
I love you as certain dark things are loved,<br />
secretly, between the shadow and the soul.<br />
<br />
I love you as the plant that doesn't bloom and carries<br />
hidden within itself the light of those flowers.<br />
<br />
And thanks to your love, darkly in my body<br />
lives the dense fragrance that rises from the earth.<br />
<br />
I love you without knowing how, or when, or from where,<br />
I love you simply, without problems or pride:<br />
I love you in this way because I don't know any other way of loving<br />
<br />
but this, in which there is no I or you,<br />
so intimate that your hand upon my chest is my hand,<br />
so intimate that when I fall asleep it is your eyes that close<br />
<br />
- Pablo Neruda: Love Sonnet XVII -<br />
<br />
*seperti yang aku kirimkan kepada A disana.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-54356811277913622722011-05-14T05:33:00.000-07:002011-05-14T05:33:59.295-07:00demi kitamenjadi produktif,<br />
<br />
ketika sendiri apalagi ketika berdua.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-36085283718893916802011-05-02T23:11:00.000-07:002011-05-02T23:11:01.515-07:00Duduk di atas Kotak SejarahTinggal di sebuah kota selama bertahun-tahun, tidak lantas membuatmu mudah menemukan tempat untuk duduk dan sekedar berbincang. Lebih dari lima tahun aku menghirup udara Purwokerto, nyatanya aku masih saja kebingungan mencari tempat nongkrong. Kami –aku dan travelmateku- berputar-putar cukup lama tanpa arah yang jelas. Namun, kombinasi udara siang yang panas, dan sinar mentari yang terik memaksaku cepat-cepat mencari sebuah tempat duduk lengkap dengan meja, untuk keperluan menulis. Akhirnya kami memutuskan mengarahkan laju kendaraan ke arah barat Purwokerto, menuju sebuah warung kopi.<br />
<br />
Di tengah jalan, nyala merah sebuah lampu lalu lintas memaksa kami berhenti. Dan tepat disitulah aku melihat sebuah bangunan tinggi di persimpangan jalan. Tidak, ini bukan pertama kalinya aku melihat bangunan tersebut dan berfikir untuk memasukinya. Kali ini aku berfikir, kenapa tidak memasukinya sekarang saja? Celetukku ditanggapi dengan baik oleh kembarku yang dengan segera merubah arah laju fluffy –sebuah motor bebek lawas yang setia. Maka disinilah kami, menyalahi rencana mencari tempat yang nyaman untuk menulis dan justru bersiap memasuki sebuah bangunan dengan plang bertuliskan “Museum Bank BRI”. <br />
<br />
Kami meninggalkan fluffy di tempat parkir yang sempit, lalu melangkah melewati pintu samping. Dugaanku salah. Ternyata pintu ini tidak membawa kami menuju museum. Rupanya bangunan ini terdiri dari dua bagian utama; Museum Bank BRI dan Bank BRI itu sendiri. Namun tidak sulit untuk membedakan pintu menuju kedua ruang tersebut. Perbedaannya cukup kontras, pintu kaca untuk kantor Bank BRI dan pintu model jadul untuk masuk ke museum. Kami memilih pintu jadul nan terawat, dengan tulisan black&white sederhana di atas selembar kertas A4 yang memastikan bahwa itu adalah pintu masuk menuju museum.<br />
<br />
Kami memasuki museum dengan leluasa; sebab tak ada satpam yang menjaga dan pengunjung yang hanya beberapa. Aku mengambil jalan ke kanan, melihat-lihat pajangan mata uang dari masa-masa. Ada mata uang dari masa kerajaan Majapahit, Belanda hingga beberapa mata uang yang pernah digunakan Indonesia dari dulu hingga sekarang. Beberapa lukisan yang dipajang menceritakan bagaimana system peminjaman uang pada masa dahulu. Terlihat beberapa orang sedang mengantri di teras depan rumah Raden Aria, menunggu giliran bertemu dengan Raden Aria untuk mengajukan pinjaman uang. Pada lukisan yang lain, digambarkan pula bangunan yang menjadi cikal bakal BRI di Purwokerto.<br />
<br />
Setelah deretan lukisan, aku mendapati beberapa koleksi pakaian kebesaran Raden Aria Wiriaatmaja beserta istri. Koleksi jas yang dahulu dipakai oleh beliau, pakaian kehormatan, hingga rompi yang selalu dipakai. Sepintas dengar, aku memang mengetahui kalau Raden Aria Wiriaatmaja adalah pendiri Bank BRI. Namun, aku lantas bertanya-tanya, dimanakah cerita mengenai pendiri tersebut dan sejarah berdiri Bank yang lahir di Purwokerto ini?<br />
<br />
Perhatianku teralihkan oleh sesuatu yang lebih menarik. Sebuah ruang tiga dimensi yang memancarkan banyak warna. Dengan seksama kuperhatikan deretan diorama tersebut. Aha, ternyata disini ceritanya! Diorama-diorama tersebut menunjukkan kejadian-kejadian penting dalam sejarah berdiri Bank yang dalam perjalanannya pernah bernama Bank De Poerwokertosche Hulp en Spaar Bank Inlandsche Bestur Ambtenaren itu.<br />
<br />
Secara resmi, BRI berdiri pada tahun 1968. Namun, kegiatan pinjam meminjam yang menjadi dasar berdirinya bank tersebut sudah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya. Dikisahkan pada suatu ketika pada tahun 1894, Raden Aria yang saat itu menjadi patih di Kabupaten Purwokerto menghadiri sebuah hajatan. Adalah seorang guru yang mengadakan acara hajatan nan meriah untuk anaknya yang baru saja dikhitan. Kondisi pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang guru untuk mengadakan hajatan yang mewah. Pemikiran itu yang mendasari Raden Aria untuk menyelidiki lebih lanjut. Hingga akhirnya diketahui bahwa untuk mendanai hajatannya, sang guru meminjam uang kepada rentenir dengan bunga yang sangat tinggi. Sejak saat itulah, Raden Aria menggunakan system pinjaman a la Bank kepada rakyat Purwokerto.<br />
<br />
Yang menarik, Raden Aria memulai kegiatan pinjam meminjam tersebut dengan cara mengelola uang kas masjid. Mengetahui hal tersebut, pemerintah Belanda memerintahkan Raden Aria untuk menghentikan kegiatannya. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda mengeluarkan mandat untuk mendirikan sebuah bank simpan pinjam dibawah pemerintahan Belanda.<br />
<br />
Bank tersebut terus beroperasi dan semakin memiliki banyak nasabah. Melalui banyak perubahan dan perombakan disana sini, BRI nyatanya tetap bertahan hingga kini, bahkan telah menjadi Bank yang berskala nasional.<br />
Yah, aku terpikat pada cerita-cerita yang menempel di kaca pembungkus diorama-diorama tersebut. Pertama, karena sejarah tersebut mengenai sesuatu yang besar namun sejatinya berasal dari kotaku sendiri. Yah, aku menyebut Purwokerto sebagai kotaku. Meski aku hanya menumpang tinggal disini, namun banyak hal di hidupku yang terjadi disini dan itulah yang membuat aku menghargai Purwokerto. Kedua, karena kehebatan orang-orang di balik pembuat diorama tersebut. Aku dan kembar¬-ku berdecak kagum, mengagumi keindahan diorama tersebut. Satu hal yang kami amati adalah, si pembuat sangat memperhatikan detail untuk menggambarkan kejadian dengan sempurna. Miniatur orang dibuat dengan memperhatikan mimik muka, gerakan badan yang alami, lipatan kain yang terbentuk karena gerakan tubuh, hingga –ini yang paling aku kagumi- pemilihan pakaian. Si pembuat menggunakan kain jarik yang berbeda-beda motifnya sesuai kasta yang disandang. Setahuku, kain jarik memang mempunyai banyak corak, dan corak-corak tersebut merepresentasikan strata-strata sosial dalam masyarakat. Bagiku, detail itu sangat membantu pengunjung untuk mengenali orang-orang yang ada dan mempermudah membaca situasi.<br />
<br />
Menjelajahi sejarah BRI dalam kotak museumnya, akan menjadi menarik jika kita tahu lebih awal tentang sejarah berdiri BRI. Sayangnya, aku membaca cerita tersebut justru ketika aku melangkah menuju pintu keluar. Sepertinya, museum BRI membutuhkan sedikit papan yang menunjukkan rute penjelajahan museum. Atau setidaknya tanda panah yang menuntun langkah kaki pengunjung. Yang tentunya, dimulai dari cerita mengenai sejarah berdirinya Bank Rakyat Indonesia.<br />
<br />
Selangkah lagi menuju pintu keluar, aku melihat sebuah tangga berputar menuju kebawah. Kami saling berpandangan, sebelum kemudian kaki-kaki kami secara serentak menuruni tangga tersebut. Tiba-tiba aku merasa kami sedang menuju ruang bawah tanah tempat penyimpanan peralatan sihir. Yah, bukan salahku berimajinasi seperti itu. Lantai bawah ini, jauh lebih sepi dan dingin ketimbang lantai atas. Hiyy!<br />
<br />
Ah, rupanya lantai bawah ini juga menyimpan koleksi-koleksi BRI dari masa ke masa. Jika lantai atas banyak menampilkan foto, lukisan dan diorama, maka lantai bawah menyuguhkan secara tiga dimensi benda-benda penting dalam sejarah perjalanan BRI. Mesin ketik, mesin penghitung uang kertas dan logam serta brankas penyimpanan uang ditampilkan dalam banyak model dan usia. Di tiap-tiap mesin bekas tersebut, ditampilkan pula informasi di kantor cabang mana dan tahun berapa mesin tersebut pernah digunakan. <br />
Melewati deretan logam-logam tersebut, terpampang sebuah papan yang menampilkan beberapa struktur direksi sejak awal mula berdirinya Bank BRI. Tak jauh dari gambar para direksi BRI, terlihat symbol-symbol yang pernah dan menjadi logo BRI saat ini. Beberapa sertifikat dan penghargaan turut pula dipajang. Sama dengan lantai atas, lantai bawah pun dibiarkan sepi tanpa satpam apalagi kamera pengawas. Benar-benar museum yang terasing. <br />
Setelah memastikan tak ada lagi yang belum kami pelototi, kami lantas naik keatas dan lekas mencari sesuatu yang bisa kami duduki. Ya, berjalan memutari museum cukup membuat kami yang tak pernah berolahraga merasakan kelelahan. Baik di lantai atas maupun bawah, tak ada kursi atau sesuatu yang menyerupai kursi. Susahnya mencari tempat duduk. Jangan-jangan gara-gara tak ada kursi, tak ada pula pengunjung yang datang? Syukurlah kami menemukan kursi kosong di sebelah pos satpam yang juga kosong. Kami duduk, menghela napas dan minum perbekalan air. Fyuhh. <br />
<br />
Habis sudah waktu untuk berlibur, kembar-ku mengingatkan. Yah, ia dikejar deathline menulis, yang berarti kalau tidak menepati tenggat waktu (line) ya mati saja (death). Hehehe. Kami lalu meluncur diatas jalanan bersama fluffy, masih dengan perdebatan yang sama: “Mau duduk dimana setelah ini?”haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-7235763232238644092011-03-01T20:44:00.000-08:002011-03-01T20:44:30.767-08:00*SIGHlama sekali rasanya aku meninggalkan tempat ini.<br />
lama sekali tak kukunjungi.<br />
<br />
dan kau tau, apa yang akan kutulis setelah sekian lama aku tak menulis?<br />
<br />
alih-alih menulis tentang sesuatu yang 'waw', aku justru tak punya apa-apa untuk kutulis.<br />
pikiran sedang suntuk, hidup seperti berhenti begitu saja, detak nadi melambat.<br />
<br />
semuanya tenang dan berjalan menyenangkan, bahkan selalu ada angin sepoi-sepoi.<br />
diam yang menusuk, kenyamanan yang membunuh.<br />
<br />
kata Putri di blognya, there's always a little pain, behind every "it's okay".<br />
<br />
SIGH.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-53381046998689898992011-01-19T21:31:00.000-08:002011-01-19T21:31:01.532-08:00cokelatpanascoklat panas meleleh di mulut,<br />
lumer, cair, menyisa pahit di ujung lidah<br />
<br />
lima senti didepanku, terduduk sebuah wajah<br />
samar kabut mengaburkan air mukanya<br />
<br />
"coklatnya pahit" kataku.<br />
ia mengulurkan satu gelas lagi.<br />
lagi, kucicip isinya.<br />
<br />
"coklatnya pahit" kataku, lagi.<br />
kali ini ia mengulurkan sebuah kertas.<br />
coklat memang pahit, tulisnya.<br />
tapi ia menenangkan, lanjutnya setelah jeda spasi.<br />
<br />
aku diam.<br />
ia diam.<br />
kami diam.<br />
<br />
diam...<br />
diam, diam...<br />
diam, diam, diam...<br />
diam, diam, diam, diam, diam...<br />
<br />
hening itu menusuk.<br />
<br />
lalu ia merentangkan tangan.<br />
ia tahu aku lelah.<br />
tapi ia juga sangat tahu, aku belum lagi mau melepas baju besi.<br />
<br />
bahkan untuk sekedar menerima peluknya.<br />
<br />
aku beringsut, mulai beranjak dari duduk.<br />
ia melakukan gerakan yang persis sama.<br />
berdiri, berbalik badan kekanan, ia kekiri, lalu kami saling memunggungi.<br />
<br />
kutinggalkan lemari dengan cermin besar didepannya.<br />
<br />
ditanganku tergenggam kertas yang kuremas,<br />
tertulis didalamnya; <br />
sudah waktunya bangun.<br />
jangan mati dalam tidur.<br />
<br />
<br />
*hot chocolate for two, please.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-80593462323921372052010-12-02T16:24:00.001-08:002010-12-03T23:09:32.684-08:00membaca jejakmujejakmu semalam masih berserak.<br />
aku tidak paham, kenapa kau harus selalu berjejak.<br />
setelah menghirup udara luar, baru kusadari bau tubuhmu memenuhi semesta kecilku.<br />
<br />
kau berjingkat, berjinjit dan berhati-hati.<br />
tapi kau lupa menutup mulutmu.<br />
udara bicara dan jejakmu terbaca,<br />
aku mengeja.<br />
<br />
jejakmu selalu diantara merah, ungu dan hitam.<br />
hey, warna-warna apa itu?<br />
kau tinggalkan mereka, jejak-jejakmu itu.<br />
menempel di sofa, tempat tidur, bus yang kau tumpangi,<br />
lalu melayanglayang ke dunia-dunia yang kau singgahi,<br />
menyapa orang-orang yang bertemu muka.<br />
<br />
dan hey, jejakmu ada dimana-mana!<br />
serupa engkau, ia pun menjelajah,<br />
menebar salam.<br />
<br />
madu atau racun?<br />
<br />
jejakmu,<br />
jejak mereka,<br />
kepulan asap itu,<br />
menyeruak di antara bau manis cinta,<br />
menyesakkan dada.<br />
<br />
pada selasa, di duapuluhtiga.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-21483354829072072322010-11-19T20:38:00.000-08:002010-11-19T20:38:48.588-08:00kepada: temanku yang baikkalau aku tidak salah menghitung, ini sudah hitungan ke sembilan sejak kau mencoba memaksa masuk. hitungan itu dalam skala tahun. aku tidak pernah memberikan kunci pintuku, untuk alasan apapun dan sesementara apapun. barangkali justru itu yang membuatmu selalu mencoba. <br />
<br />
jadi begini, kuluruskan saja. memang dulu aku membencimu, dan sangat membencimu. tapi pelan-pelan kuubah itu menjadi sesuatu yang lebih netral. kukatakan, aku tidak membencimu. jadi berhentilah meminta maaf untuk entah apa itu. <br />
<br />
aku, dengan segala hormat, meminta maaf, atas kesalahan apapun yang pernah kulakukan padamu. aku minta maaf. <br />
sudah jelas?<br />
<br />
kini, aku, dengan segala harap, memohon mu untuk tidak lagi menggangguku dengan cara apapun. aku pikir kau bisa mengerti. kalau belum jelas juga, harus kukatakan, kalau aku sangat terganggu dengan terror-terormu itu.<br />
<br />
<i>berhentilah, ada batas kau mencoba, ada batas kau harus berhenti.<b></b></i> <br />
<br />
aku tidak tau apa kau bisa membaca tulisanku. tapi, mengingat daya lacakmu yang –harus kubilang apa?-, mungkin saja kau bisa membacanya.<br />
<br />
terimakasih atas pengertianmu.<br />
hanie maria.<br />
<br />
<i>* tulisan ini –meminjam istilah melyn- kumuntahkan hanya agar tak lagi tinggal, terendap dan membusuk di kepala.</i>haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com5tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-76962516285721991852010-11-19T20:29:00.000-08:002010-11-19T20:29:05.413-08:00si ompong yang keren<i>Belajar memang dari mana saja dan dari siapa saja. Kali ini, aku belajar dari adik kecilku, seseorang yang selama ini aku cekoki bermacam-macam hal.</i><br />
<br />
Aku sudah pernah bercerita tentang adik bungsuku?<br />
Baiklah, kuceritakan lagi ya. Hehehe.<br />
Hari ini dia berusia 7 tahun 2 bulan 4 hari. Dia dilahirkan ketika aku berusia 17 tahun. Kebayang kan, jauhnya? Sekolah yang dimasukinya kini, membuatnya bersiap setiap jam 06.45 pagi, dan sampai dirumah jam 14.00. Untuk ukuran anak berumur 7 tahun, dia termasuk jangkung, kurus. Makin mantaf dengan gigi depan yang ompong dua duanya.<br />
<br />
Kalau sudah bercerita, orang yang mendengarkan, gak boleh nyambi ngapa-ngapain, lalu dia akan bercerita dengan sangat antusias, disertai tangan yang bergerak-gerak, mata berbinar dan suara keras [kok kayak nulis deksripsi diriku sendiri, sih?].<br />
<br />
Dan kemarin, dia bercerita tentang apa yang dia alami di sekolahnya. Begini katanya, si ustadz [panggilan untuk gurunya di sekolah] bertanya kepada setiap anak, “Ayo sebutkan cita-cita kalian..”. Tiba pada gilirannya, si ustadz pun bertanya, “Hawwin kalau udah gede mau jadi apa?”. Dan dia pun menjawab dengan bangga, “Sopir truk!”.<br />
<br />
Sopir truk itu cita-citanya dari duluu banget, dari pertama dia tau benda bernama truk. Agaknya sikecil Hawwin terinspirasi punya cita-cita <i>nyleneh </i>dari kakaknya yang kini sedang puber remaja; cita-citanya dulu ingin jadi pintu. Ahahaaa. <br />
<br />
Aku senang adikku sudah belajar berani mengakui dirinya [cita-citanya], didepan teman-temannya. Apalagi itu bukan profesi yang lazim diidam-idamkan. Aihh, kerennya adikku!haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-9680490348048937442010-11-19T20:11:00.000-08:002010-11-19T20:11:35.276-08:00a happy tea family<i>you know Panda, tea is a new coffe..</i><br />
<br />
Membaca artikel tentang teh di sebuah majalah perjalanan edisi terbaru, membuatku tersadar betapa aku juga sebenarnya menikmati teh.<br />
Aku mengenal minuman seduhan teh, sejak aku kecil. Ibu dan Bapakku maniak teh. Setiap pagi mereka membuat teh. Setiap petang juga membuat teh. Kalau ada tamu disuguh minuman teh, kalau Ibu pusing, selalu diobati dengan teh, kalau bepergian selalu membawa termos minum berisi teh hangat. <i>Tea addicted</i>. Jika Ibu suka teh dengan sedikit gula, dan teh yang berwarna pekat kental, maka Bapak suka teh dengan gula standar dan berwarna terang. Kami menyebutnya, camprang. <br />
<br />
Kebiasaan mereka diturunkan kepada kami, anak-anaknya. Namun dari ketiganya, hanya aku yang mewarisi darah pecinta teh. Hehehe. Adikku yang pertama, tidak terlalu suka. Adikku yang kedua apalagi. Dia masih kelas satu SD, fasenya masih suka susu putih, dua kali sehari.<br />
<br />
<i>Witing tresna jalaran saka kulina</i>. Bisa jadi, aku menyukai teh, karena disuguhi teh setiap harinya. Aliran yang kuikuti, cenderung mengikuti aliran Ibu: teh kental dengan sedikit gula. Huh, mantaf!<br />
<br />
Lalu, kebiasaan itu aku bawa sampai ke tempat tinggalku di dekat kampus (baca: kos). Kadang, pagi hari aku membuat secangkir teh. Teh buatku hanya cocok di pagi hari, bersanding dengan kicau burung dan langit biru. Sementara kopi, adalah teman sewaktu malam.<br />
<br />
Namun, perasaan memang tak bisa dibohongi, rasa rindu tak bisa dibawa pergi. Sampai saat ini, belum ada yang mampu menandingi nikmatnya teh yang aku bikin di rumah. Apalagi kalau dibikinkan oleh Ibu. Barangkali karena dirumah ada bau cinta, ada bau kehangatan. Sesuatu yang belum bisa aku ciptakan di kamar kosku.<br />
<br />
Kenikmatan menyesap teh itu, ada tiga tahapan, kawan: pertama, melihat warnanya. Kedua, menghirup baunya. Ketiga, menyeruputnya perlahan. Yang ketiga ini yang paling wajib: minum teh itu hanya boleh dengan cara diseruput. <br />
<br />
Dan semuanya akan menjadi sempurna, ketika aku melakukannya dirumah, disertai dengan kebiasaan-kebiasaan disana. Cerita Ibu tentang kejadian di sekolah tadi, wejangan Bapak soal kesehatan atau norma dan agama, hingga menertawakan tingkah polah si kecil Hawwin yang berupa perpaduan antara bodoh lucu dan polos. <br />
<br />
Rangkaian itu semua yang membuat teh dirumah terasa begitu menenangkan.<br />
<br />
<br />
<i>10.30 pm<br />
Sambil mendengarkan takbir dari masjid-masjid di sekitar rumah.</i>haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-2034997863554471942010-10-27T08:21:00.000-07:002010-10-27T08:21:14.717-07:00sedang berusaha melawan lupa<i>tulisan lama, kuputuskan dipublikasikan: untuk menjamin ingatanku takkan menghapusnya</i><br />
<br />
seperti semuanya, Lebaran kali ini, saya pun meliburkan diri dari segala aktivitas. berganti dengan acara pulang kerumah dan berkumpul bersama keluarga.<br />
<br />
tapi toh, libur ada batasnya. saya pun kini, kembali beraktivitas dengan kesibukan yang dulu menerpa. pun dengan kesibukan di sebuah ruang kreatif, Padang Ilalang.<br />
<br />
Padang Ilalang. ruang ini, saya dan teman-teman gagas, pada Juli 2009 lalu. meski kami baru sanggup membukanya pada Desember 2009. saat itu, saya dan dua teman lainnya mencoba menerjemahkan apa yang menjadi keinginan kami, menjadi sebuah bentuk nyata. saya, Ade dan Rini, memang sama-sama menyukai dunia anak. rasa suka itu kemudian merambat pada sikap peduli, yang lalu mendorong kami untuk bergerak. tentu saja, hal itu berdasar pengalaman kami yang sudah-sudah. banyak punya mimpi, merumuskannya dalam bentuk konsep, tapi tak pernah ada gerakan nyata. hahaha, dasar anak muda.<br />
<br />
maka, kami mencoba untuk tidak menjadi perfeksionis. yang penting konsep besarnya sudah matang, ada ruang dan beberapa barang yang dibutuhkan. lalu, kami beranikan diri untuk membukanya. jreng jreng jreng.<br />
<br />
dan, taraaaa, berdirilah Padang Ilalang, sebuah ruang kreatif, yang terletak di bilangan Jl. Raya Notog no.334, Patikraja.<br />
<br />
dan sekarang sudah bulan September, meski lambat, kami mencoba untuk terus berjalan. secara fisik, Padang Ilalang memang terlihat seperti perpustakaan. sebuah ruang dengan cat berwarna warni, tikar terhampar ditengah, rak (semoga kardus bekas yang dibungkus kain bisa disebut sebagai rak. hehehe) penuh buku ditiap sisinya, dan rak kayu yang berisi macam-macam alat permainan. namun, setiap jadwal buka, yaitu tiap hari minggu, kami mencoba mengisinya dengan satu tema. temanya beragam. seperti main sepakbola, layangan, outbond ke curug, membuat kreasi lego dari kayu bekas hingga bermain lempung. karena itulah, kami sering meyakinkan banyak orang jika Padang Ilalang tidak 'hanya' sebuah perpustakaan.<br />
<br />
anak-anak riang, kami pun senang. hahaha. meski tidak lantas menjadi patokan, tapi kami bahagia jika melihat tawa anak-anak. kadang, mereka datang berbanyak, sampai 20 hingga 30 piyik-piyik. tapi pernah juga, yang datang bisa dihitung hanya dengan jari tangan kanan. hfuuh..<br />
<br />
apa nggak susah menghidupi ruang sosial seperti Padang Ilalang? lebih dari satu orang yang melontarkan pertanyaan serupa kepada kami. gimana ya, mau jawab "susah" kok kayaknya nggak ikhlas banget. tapi mau jawab "nggak" juga kok kayaknya nggaya banget. akhirnya sering kami hanya memberikan senyum, sebagai jawaban, seperti ini :)<br />
<br />
yah, tidak mudah memang, tapi itu pilihan kami. begitu. mulai dari menghandle anak-anak yang beragam jenisnya, sampai mencari uang untuk dana operasional. tapi sekali lagi, saya meyakinkan diri, kami tau kemana kami berjalan dan apa yang kami inginkan.<br />
<br />
maka, liburan kemarin cukup menyegarkan otak kami. kami meliburkan kegiatan Padang Ilalang selama tiga minggu, yang artinya tiga kali pertemuan dan segala tetek bengek tematik, keuangan, perkembangan anak dan bla bla bla lainnya. dan, kami membawa isu baru untuk dibicarakan bersama. apalagi kalau bukan tuntutan pemenuhan kewajiban untuk segera: lulus.<br />
bwaaaaaaaahhhhh, susah sekali mengetik lima huruf itu, hahaa. kami berempat -oya, ada satu teman lagi di Padang Ilalang, yang datang tidak lama setelah kami membukanya, namanya Rahmi- memang sama. sama-sama satu kelas di kuliah, sama-sama belum lulus dan sama-sama mblasur -tingkatnya lebih tinggi daripada males ataupun ndableg-.<br />
<br />
mengingat kebutuhan yang amat sangat mendesak, kami memutuskan untuk mengurangi intensitas kegiatan di Padang Ilalang. caranya? jelas, kami tidak mungkin untuk meniadakan kegiatan hari minggu, yang ada kami hanyalah menyederhanakan kegiatan di tiap minggunya. sepakat, palu telah diketuk. tok tok tok.<br />
<br />
lalu siang tadi, teman dekat kami sekonyong-konyong bertanya tentang kegiatan pasca lebaran pada Rini. setelah dijelaskan, ia berkata datar:<br />
"sekarang alasannya nggarap skripsi, besok alasan kerja, lalu kawin. kelamaan, mending bubar sekarang aja"<br />
<br />
yaah, reaksi pertama saya adalah kesal, tentu saja. hati saya berontak.<br />
<br />
tapi hanya diawal, selanjutnya saya diam. mencoba bertanya pada diri sendiri. <br />
lama, akhirnya saya menyadari sesuatu.<br />
kalimatnya membuat saya memahami suatu simpul. kami berempat, telah menimpakan kesalahan-kesalahan kami kepada Padang Ilalang. korbannya, eksistensi Padang Ilalang dan kekecewaan anak-anak. sial. saya sesungguhnya malu menuliskan aib ini, tapi bagaimana lagi? saya harus malu biar tak lagi mengingkari janji.<br />
<br />
lalu saya teringat lagi, pada koar-koar janji, keteguhan-keteguhan yang seenaknya saya lontarkan. sebenarnya sederhana, saya tidak menghormati pilihan saya sendiri. kami tidak menghormati pilihan kami.<br />
siapa yang menyuruh kami mendirikan Padang Ilalang? kami sendiri.<br />
siapa yang berkomitmen untuk menjaga tiangnya sampai jauh? kami bersepakat untuk itu.<br />
<br />
alih-alih konsisten, saya justru konsisten dengan inkonsistensi.<br />
<br />
<br />
<br />
<i>*** terimakasih untuk caci makimu, Az.</i>haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-10227597218747269602010-10-27T07:53:00.000-07:002010-10-27T07:53:24.391-07:00melankoliabegini rutinitasku sekarang.<br />
<br />
kaki bersila, membaca, membandingkan teks-teks lalu berakhir dengan mata lelah, lalu tertidur dengan tidak tenang.<br />
<br />
bangun dengan tergesa-gesa, lalu,<br />
kembali melakukan aktivitas yang sama.<br />
<br />
lalu aku ingat kamu,<br />
coba kamu ada disini.<br />
<br />
yang aku maksud ada disini, adalah ada disini, tepat disampingku.<br />
<br />
<i>asyem, rutinitas membuatku menjadi sangat melankolia</i>haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-52270091653688397672010-10-19T18:57:00.001-07:002010-10-19T18:57:12.010-07:00Menelusuri Jejak Masa Lalu<meta content="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type"></meta><meta content="Word.Document" name="ProgId"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Generator"></meta><meta content="Microsoft Word 11" name="Originator"></meta><link href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cstarnet%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtml1%5C01%5Cclip_filelist.xml" rel="File-List"></link><o:smarttagtype name="State" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="City" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><o:smarttagtype name="place" namespaceuri="urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags"></o:smarttagtype><style>
<!--
/* Font Definitions */
@font-face
{font-family:Calibri;
mso-font-alt:"Century Gothic";
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:swiss;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073750139 0 0 159 0;}
@font-face
{font-family:Cambria;
mso-font-alt:"Palatino Linotype";
mso-font-charset:0;
mso-generic-font-family:roman;
mso-font-pitch:variable;
mso-font-signature:-1610611985 1073741899 0 0 159 0;}
/* Style Definitions */
p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal
{mso-style-parent:"";
margin-top:0cm;
margin-right:0cm;
margin-bottom:10.0pt;
margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:Calibri;
mso-fareast-font-family:Calibri;
mso-bidi-font-family:"Times New Roman";
mso-ansi-language:EN-US;
mso-fareast-language:EN-US;}
h2
{mso-style-link:" Char Char";
mso-style-next:Normal;
margin-top:10.0pt;
margin-right:0cm;
margin-bottom:0cm;
margin-left:0cm;
margin-bottom:.0001pt;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan lines-together;
page-break-after:avoid;
mso-outline-level:2;
font-size:13.0pt;
font-family:Cambria;
color:#4F81BD;
mso-ansi-language:EN-US;
mso-fareast-language:EN-US;}
span.CharChar
{mso-style-name:" Char Char";
mso-style-locked:yes;
mso-style-link:"Heading 2";
mso-ansi-font-size:13.0pt;
mso-bidi-font-size:13.0pt;
font-family:Cambria;
mso-ascii-font-family:Cambria;
mso-hansi-font-family:Cambria;
color:#4F81BD;
mso-ansi-language:EN-US;
mso-fareast-language:EN-US;
mso-bidi-language:AR-SA;
font-weight:bold;}
@page Section1
{size:612.0pt 792.0pt;
margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt;
mso-header-margin:36.0pt;
mso-footer-margin:36.0pt;
mso-paper-source:0;}
div.Section1
{page:Section1;}
-->
</style> <br />
<div class="MsoNormal"></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Pagi ini, ketika aku bercengkerama dengan Coqi –sahabat setiaku selain fluffy- aku menemukan sebuah kejanggalan. Oh, sepertinya Coqi anfal, sakitnya yang dulu itu kambuh. Baiklah, jadi, Coqi itu sebuah <i>notebook</i> yang sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Dulu dia pernah sakit, layar bagian bawahnya bergaris. Setelah kubawa ke pusat service di Bandung, katanya LCDnya musti diganti. Waktu itu aku masih tenang-tenang saja, karena <i>untungnya</i>, kartu garansinya masih bisa dipakai. Nah, kalau sekarang, sepertinya aku harus merogoh saku dalam-dalam untuk mengganti LCDnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Tapi toh, aku tetap mencari kartu garansinya. Untuk meyakinkan diriku bahwa garansinya memang sudah benar-benar tidak bisa digunakan. Atau siapa tahu, garansinya tiba-tiba berubah menjadi dua tahun. Sekalian aku perlu alamat dan nomor telpon tempat servicenya. Maka aku mulai melakukan pencarian. Aku orang yang pelupa, jadi mau tidak mau, akan kubuka semua kardus-kardus yang bertebaran di kamarku.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Aku mulai mencari di rak paling bawah lemari. Alih-alih memfokuskan diri pada kotak berwarna merah yang berisi nota, kartu garansi dsb, aku malah bernostalgia dengan masa lalu. Disana kutemukan buku-buku yang entah kenapa dulu kubeli [?]. Sisa-sisa nota dan lembar rekap keuangan semasa aku masih berada di salah satu ruang di Sekre Setan. Lalu meruaplah masa-masa disana. Ruang yang penuh dengan asap rokok, makian, suara musik, gitar dan media cetak. Seringkali pulang malam, bahkan sampai menginap disana. Sebelum kuliah, ke sekre, pulang kuliah ke sekre, gak ada kuliah ke sekre. Hahaha. Ruang yang terus kucaci hingga kini, meski diam-diam aku bersyukur pernah menjadi bagiannya.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Oya, aku juga menemukan fotoku ketika masih kecil. Ck,ck,ck,ck. Aku masih punya pipi! Hehehe. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Tak menemukan yang kucari, aku beranjak pada tumpukan kardus yang terbungkus kain warna-warni. Hal pertama yang kutemukan adalah, seikat kartu nama dengan kop “Penerbit BlaBlaBla” [baca: Penerbit Abal-abal]. Ahhaaa, mengingatkanku pada perjalanan luar <st1:city w:st="on"><st1:place w:st="on">kota</st1:place></st1:city>, tumpukan sertifikat, uang dan sebuah keluarga. Aku tidak mau berlama-lama di bagian ini, nanti perasaan rindu dan kecewaku bertumbuh lagi. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Tiba-tiba mataku tertuju pada dua binder. Tau <st1:state w:st="on"><st1:place w:st="on">kan</st1:place></st1:state>, binder? Sebuah buku yang kertasnya bisa diambil lepas. Binder itu populer banget semasa aku SMA hingga semester awal perkuliahan. Benar, setelah kubuka, isinya jejak-jejak SMA yang penuh dengan puisi-puisi [hahahaa, geli pas kubaca]. Tapi lebih banyak berisi materi awal perkuliahan yang enggan kubuang. Terselip disitu sebuah kertas dengan deretan angka diatasnya, tertulis: mas Andri, trans TV. Iseng, nanti coba kuhubungi, ah. Kekekekee.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Di kardus kedua lah, aku menemukan kotak merah itu. Kudapati kartu garansi didalamnya, dan menghela nafas karena memang batas waktunya benar-benar sudah lewat. Terbayang sudah, menabung dan kencangkan pinggang. Hehe. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Satu hal yang aku amati dari kambuhnya Coqi: selalu disaat aku sedang mengejar tenggat waktu untuk mengerjakan skripsi [baca: skripsuittsuiit]. Apakah ini berarti, aku harus berhenti sejenak dan meransel untuk menyegarkan otakku, Coqi? Hwehehehee.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Dan satu hal lagi yang aku baca dari pagi ini: melihat tumpukan kertas di rak paling bawah lemari, aku menyadari, sudah lama [sekali] sejak terakhir kali aku menyerahkan hasil tulisanku, dan mengisi sebuah buku dengan judul “Buku Konsultasi Skripsi”. Ngek ngok.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Dan lagi, satu lagi pola yang aku pahami. Semuanya akan menjadi masa lalu yang menimbulkan tawa akan kesenangan-kesenangan kecilmu dulu. Atau, yang menimbulkan sebuah rasa syukur karena telah belajar satu dua hal. Atau, yang menimbulkan rasa bangga karena jejak itu adalah bukti kau mampu bertahan dan melewati masa-masa berat. </span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US">Dan ya, selamat pagi semuanya. Lakukan apa yang bisa kau lakukan hari ini, sebab [kata Om Gibran] hidup tidak akan bersenandung dengan masa lalu.</span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-40850786953434533062010-10-15T02:45:00.000-07:002010-10-15T02:45:25.448-07:00kecewasetelah lewat ratusan detik sejak waktu yang ia tetapkan, aku mengambil kesimpulan bahwa dia tidak akan datang. lagi.<br />
<br />
untuk kesekian kalinya, dia mengingkari janji yang dibuatnya sendiri. bukan hal yang baru memang, selama aku mengenalnya sampai kini.<br />
<br />
tapi kupikir, dengan kontemplasi-kontemplasi yang telah dia lakukan, dia sanggup untuk berubah. tapi tidak sama sekali, tekadnya hanya sebatas rangkaian huruf dalam sebentuk cerita.<br />
<br />
meski berat, harus kuakui bahwa dia ternyata belum lagi bertanggungjawab pada pilihan-pilihan yang telah dia ambil secara sadar. menjalani pilihannya, dan berani menghadapinya.<br />
<br />
maaf,<br />
tapi kali ini aku benar-benar kecewa.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-78715000671420905652010-10-07T02:49:00.000-07:002010-10-07T02:49:14.327-07:00dongeng sebelum banguntubuh disebelahku masih membeku,<br />
meruapkan bau keringat yang kini kuhafal.<br />
kuputar tubuhku kekiri agar bisa memandangnya dengan jelas.<br />
kutopang kepalaku dengan tangan kiri,<br />
kujaga agar tak membangunkannya.<br />
hanya ada suara detak jantungku, dan detaknya yang teratur, ia masih berada di awang-awang.<br />
semalam ia tidur larut, maka kubiarkan ia bangun siang, selalu seperti tiap harinya.<br />
<br />
siapakah tubuh disebelahku ini?<br />
aku memang hafal lekuk mukanya, tubuhnya,<br />
tapi aku merasa tak pernah cukup untuk mengenalnya.<br />
sambil tetap memandang matanya yang terpejam,<br />
aku mengingat-ingat kembali saat-saat pertemuan pertama kita.<br />
saat yang begitu aku tunggu, setelah hampir empat purnama kita selalu bertukar pesan,<br />
tanpa pernah bertatap muka.<br />
<br />
aku selalu suka menebak-nebak,<br />
seperti kali itu,<br />
aku membayangkan bermacam wajah yang mungkin menjadi wajahmu,<br />
hidungmu, matamu, rambutmu,<br />
seperti apakah kamu?<br />
<br />
dan aku tau,<br />
aku telah jatuh cinta sejak kali pertama kita berjumpa.<br />
apakah kau masih ingat saat-saat itu?<br />
-nanti akan kutanyakan padamu-<br />
<br />
bukankah kita saling bertukar cinta lewat mata, sayang?<br />
<br />
ah, kau belum lagi punya nama,<br />
aku masih berdebat dengannya soal namamu itu.<br />
memang memilih selalu perkara sulit ya?<br />
<br />
hmm, baiklah,<br />
kubiarkan kau terlelap,<br />
bermimpilah banyak-banyak, sayang.<br />
kelak akan ku ingatkan kau akan mimpimu,<br />
dan kupastikan kau untuk mengejarnya.<br />
<br />
sampai jumpa lagi.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-3406605638673935309.post-69402845509091689962010-10-07T02:47:00.000-07:002010-10-07T02:47:35.869-07:00sepasang bola hitamketika kita berbincang, sesungguhnya aku selalu merasa enggan.<br />
karena aku tau, ini akan menguras energiku.<br />
selalu ketika kau mulai berkata-kata, satu titik yang menjadi area perhatianku adalah matamu.<br />
dan ya, matamu menguras energiku.<br />
<br />
ia melonjak ketika nadamu meninggi,<br />
ia menerawang ketika kau mengambil jeda cukup banyak diantara kalimat-kalimat yang kau lontarkan,<br />
ia berkaca ketika intonasimu berubah sendu,<br />
ia memberiku banyak kalimat ketika tak ada yang bisa kau keluarkan dari pita suaramu.<br />
meki begitu, aku sungguh benci melihatnya beranak sungai.<br />
<br />
kita memang selalu hanya berbincang,<br />
kurang tidak, lebih apalagi.<br />
dan matamu yang hitam, selalu ikut bercerita.<br />
kau bercerita tentang apa saja.<br />
tentu saja dengan perkecualian: tentang dirimu sendiri.<br />
ruang yang kau kunci, lalu kau telan kuncinya.<br />
hilang sudah akses menuju kesana.<br />
<br />
aku pernah mengusulkan pada diriku sendiri,<br />
agar aku tak lelah, tak usah pandangi matanya saja.<br />
ha, tapi mana bisa?<br />
cuma sepasang mata itu yang bisa kupandangi dari dirinya.<br />
sebagian besar tubuhnya ia sembunyikan dibalik pakaian-pakaiannya yang panjang.<br />
tubuh yang tak pernah ia perlihatkan pada lawan jenisnya.<br />
pun padaku,<br />
meski kami terlahir dari jenis yang sama.<br />
<br />
kau tau,<br />
perempuanku -betapa ingin aku memanggilmu begitu.haniemariahttp://www.blogger.com/profile/02267929787124800218noreply@blogger.com3