tulisan lama, kuputuskan dipublikasikan: untuk menjamin ingatanku takkan menghapusnya
seperti semuanya, Lebaran kali ini, saya pun meliburkan diri dari segala aktivitas. berganti dengan acara pulang kerumah dan berkumpul bersama keluarga.
tapi toh, libur ada batasnya. saya pun kini, kembali beraktivitas dengan kesibukan yang dulu menerpa. pun dengan kesibukan di sebuah ruang kreatif, Padang Ilalang.
Padang Ilalang. ruang ini, saya dan teman-teman gagas, pada Juli 2009 lalu. meski kami baru sanggup membukanya pada Desember 2009. saat itu, saya dan dua teman lainnya mencoba menerjemahkan apa yang menjadi keinginan kami, menjadi sebuah bentuk nyata. saya, Ade dan Rini, memang sama-sama menyukai dunia anak. rasa suka itu kemudian merambat pada sikap peduli, yang lalu mendorong kami untuk bergerak. tentu saja, hal itu berdasar pengalaman kami yang sudah-sudah. banyak punya mimpi, merumuskannya dalam bentuk konsep, tapi tak pernah ada gerakan nyata. hahaha, dasar anak muda.
maka, kami mencoba untuk tidak menjadi perfeksionis. yang penting konsep besarnya sudah matang, ada ruang dan beberapa barang yang dibutuhkan. lalu, kami beranikan diri untuk membukanya. jreng jreng jreng.
dan, taraaaa, berdirilah Padang Ilalang, sebuah ruang kreatif, yang terletak di bilangan Jl. Raya Notog no.334, Patikraja.
dan sekarang sudah bulan September, meski lambat, kami mencoba untuk terus berjalan. secara fisik, Padang Ilalang memang terlihat seperti perpustakaan. sebuah ruang dengan cat berwarna warni, tikar terhampar ditengah, rak (semoga kardus bekas yang dibungkus kain bisa disebut sebagai rak. hehehe) penuh buku ditiap sisinya, dan rak kayu yang berisi macam-macam alat permainan. namun, setiap jadwal buka, yaitu tiap hari minggu, kami mencoba mengisinya dengan satu tema. temanya beragam. seperti main sepakbola, layangan, outbond ke curug, membuat kreasi lego dari kayu bekas hingga bermain lempung. karena itulah, kami sering meyakinkan banyak orang jika Padang Ilalang tidak 'hanya' sebuah perpustakaan.
anak-anak riang, kami pun senang. hahaha. meski tidak lantas menjadi patokan, tapi kami bahagia jika melihat tawa anak-anak. kadang, mereka datang berbanyak, sampai 20 hingga 30 piyik-piyik. tapi pernah juga, yang datang bisa dihitung hanya dengan jari tangan kanan. hfuuh..
apa nggak susah menghidupi ruang sosial seperti Padang Ilalang? lebih dari satu orang yang melontarkan pertanyaan serupa kepada kami. gimana ya, mau jawab "susah" kok kayaknya nggak ikhlas banget. tapi mau jawab "nggak" juga kok kayaknya nggaya banget. akhirnya sering kami hanya memberikan senyum, sebagai jawaban, seperti ini :)
yah, tidak mudah memang, tapi itu pilihan kami. begitu. mulai dari menghandle anak-anak yang beragam jenisnya, sampai mencari uang untuk dana operasional. tapi sekali lagi, saya meyakinkan diri, kami tau kemana kami berjalan dan apa yang kami inginkan.
maka, liburan kemarin cukup menyegarkan otak kami. kami meliburkan kegiatan Padang Ilalang selama tiga minggu, yang artinya tiga kali pertemuan dan segala tetek bengek tematik, keuangan, perkembangan anak dan bla bla bla lainnya. dan, kami membawa isu baru untuk dibicarakan bersama. apalagi kalau bukan tuntutan pemenuhan kewajiban untuk segera: lulus.
bwaaaaaaaahhhhh, susah sekali mengetik lima huruf itu, hahaa. kami berempat -oya, ada satu teman lagi di Padang Ilalang, yang datang tidak lama setelah kami membukanya, namanya Rahmi- memang sama. sama-sama satu kelas di kuliah, sama-sama belum lulus dan sama-sama mblasur -tingkatnya lebih tinggi daripada males ataupun ndableg-.
mengingat kebutuhan yang amat sangat mendesak, kami memutuskan untuk mengurangi intensitas kegiatan di Padang Ilalang. caranya? jelas, kami tidak mungkin untuk meniadakan kegiatan hari minggu, yang ada kami hanyalah menyederhanakan kegiatan di tiap minggunya. sepakat, palu telah diketuk. tok tok tok.
lalu siang tadi, teman dekat kami sekonyong-konyong bertanya tentang kegiatan pasca lebaran pada Rini. setelah dijelaskan, ia berkata datar:
"sekarang alasannya nggarap skripsi, besok alasan kerja, lalu kawin. kelamaan, mending bubar sekarang aja"
yaah, reaksi pertama saya adalah kesal, tentu saja. hati saya berontak.
tapi hanya diawal, selanjutnya saya diam. mencoba bertanya pada diri sendiri.
lama, akhirnya saya menyadari sesuatu.
kalimatnya membuat saya memahami suatu simpul. kami berempat, telah menimpakan kesalahan-kesalahan kami kepada Padang Ilalang. korbannya, eksistensi Padang Ilalang dan kekecewaan anak-anak. sial. saya sesungguhnya malu menuliskan aib ini, tapi bagaimana lagi? saya harus malu biar tak lagi mengingkari janji.
lalu saya teringat lagi, pada koar-koar janji, keteguhan-keteguhan yang seenaknya saya lontarkan. sebenarnya sederhana, saya tidak menghormati pilihan saya sendiri. kami tidak menghormati pilihan kami.
siapa yang menyuruh kami mendirikan Padang Ilalang? kami sendiri.
siapa yang berkomitmen untuk menjaga tiangnya sampai jauh? kami bersepakat untuk itu.
alih-alih konsisten, saya justru konsisten dengan inkonsistensi.
*** terimakasih untuk caci makimu, Az.
sedang berusaha melawan lupa
melankolia
begini rutinitasku sekarang.
kaki bersila, membaca, membandingkan teks-teks lalu berakhir dengan mata lelah, lalu tertidur dengan tidak tenang.
bangun dengan tergesa-gesa, lalu,
kembali melakukan aktivitas yang sama.
lalu aku ingat kamu,
coba kamu ada disini.
yang aku maksud ada disini, adalah ada disini, tepat disampingku.
asyem, rutinitas membuatku menjadi sangat melankolia
Menelusuri Jejak Masa Lalu
kecewa
setelah lewat ratusan detik sejak waktu yang ia tetapkan, aku mengambil kesimpulan bahwa dia tidak akan datang. lagi.
untuk kesekian kalinya, dia mengingkari janji yang dibuatnya sendiri. bukan hal yang baru memang, selama aku mengenalnya sampai kini.
tapi kupikir, dengan kontemplasi-kontemplasi yang telah dia lakukan, dia sanggup untuk berubah. tapi tidak sama sekali, tekadnya hanya sebatas rangkaian huruf dalam sebentuk cerita.
meski berat, harus kuakui bahwa dia ternyata belum lagi bertanggungjawab pada pilihan-pilihan yang telah dia ambil secara sadar. menjalani pilihannya, dan berani menghadapinya.
maaf,
tapi kali ini aku benar-benar kecewa.
dongeng sebelum bangun
tubuh disebelahku masih membeku,
meruapkan bau keringat yang kini kuhafal.
kuputar tubuhku kekiri agar bisa memandangnya dengan jelas.
kutopang kepalaku dengan tangan kiri,
kujaga agar tak membangunkannya.
hanya ada suara detak jantungku, dan detaknya yang teratur, ia masih berada di awang-awang.
semalam ia tidur larut, maka kubiarkan ia bangun siang, selalu seperti tiap harinya.
siapakah tubuh disebelahku ini?
aku memang hafal lekuk mukanya, tubuhnya,
tapi aku merasa tak pernah cukup untuk mengenalnya.
sambil tetap memandang matanya yang terpejam,
aku mengingat-ingat kembali saat-saat pertemuan pertama kita.
saat yang begitu aku tunggu, setelah hampir empat purnama kita selalu bertukar pesan,
tanpa pernah bertatap muka.
aku selalu suka menebak-nebak,
seperti kali itu,
aku membayangkan bermacam wajah yang mungkin menjadi wajahmu,
hidungmu, matamu, rambutmu,
seperti apakah kamu?
dan aku tau,
aku telah jatuh cinta sejak kali pertama kita berjumpa.
apakah kau masih ingat saat-saat itu?
-nanti akan kutanyakan padamu-
bukankah kita saling bertukar cinta lewat mata, sayang?
ah, kau belum lagi punya nama,
aku masih berdebat dengannya soal namamu itu.
memang memilih selalu perkara sulit ya?
hmm, baiklah,
kubiarkan kau terlelap,
bermimpilah banyak-banyak, sayang.
kelak akan ku ingatkan kau akan mimpimu,
dan kupastikan kau untuk mengejarnya.
sampai jumpa lagi.
sepasang bola hitam
ketika kita berbincang, sesungguhnya aku selalu merasa enggan.
karena aku tau, ini akan menguras energiku.
selalu ketika kau mulai berkata-kata, satu titik yang menjadi area perhatianku adalah matamu.
dan ya, matamu menguras energiku.
ia melonjak ketika nadamu meninggi,
ia menerawang ketika kau mengambil jeda cukup banyak diantara kalimat-kalimat yang kau lontarkan,
ia berkaca ketika intonasimu berubah sendu,
ia memberiku banyak kalimat ketika tak ada yang bisa kau keluarkan dari pita suaramu.
meki begitu, aku sungguh benci melihatnya beranak sungai.
kita memang selalu hanya berbincang,
kurang tidak, lebih apalagi.
dan matamu yang hitam, selalu ikut bercerita.
kau bercerita tentang apa saja.
tentu saja dengan perkecualian: tentang dirimu sendiri.
ruang yang kau kunci, lalu kau telan kuncinya.
hilang sudah akses menuju kesana.
aku pernah mengusulkan pada diriku sendiri,
agar aku tak lelah, tak usah pandangi matanya saja.
ha, tapi mana bisa?
cuma sepasang mata itu yang bisa kupandangi dari dirinya.
sebagian besar tubuhnya ia sembunyikan dibalik pakaian-pakaiannya yang panjang.
tubuh yang tak pernah ia perlihatkan pada lawan jenisnya.
pun padaku,
meski kami terlahir dari jenis yang sama.
kau tau,
perempuanku -betapa ingin aku memanggilmu begitu.
tersesat
**untuk seorang yang sedang kebingungan. semoga tidak tersesat.
pfiuhh..
didepanku terpapar pepohonan berbagai macam, kurus dan gemuk berbaur. kabut mulai turun perlahan. terasa dan terlihat jelas, tapi tak tersentuh.
nafasku mulai satu-satu, jalanan semakin menanjak. aku semakin meninggalkan sekumpulan hijau, untuk kembali menuju sekelompok hijau. sial, tubuh mudaku seharusnya mampu melewati jalan ini dengan mudah. tak ada pilihan jalan lain yang memutar. aku harus beranjak dan mendaki.
saat ini entah siang entah malam entah pagi. kabut memang membuat semuanya menjadi abu-abu. tak jelas. ini hari entah keberapa. jelas aku tersesat.
kelelahan, kakiku memaksa aku menghentikan langkah.
meminum air yang kuambil kemarin lusa dari sungai kecil dan mengambil nafas.
ahhh...
padahal ada matahari,
ada kabut, bintang, bulan dan musim.
adakah aku meminta terlalu banyak?