Diberdayakan oleh Blogger.
Foto saya
baca dan nikmati perjalanan kali ini.

Followers

Recent Posts

Download

Blogger Tricks

Blogger Themes

RSS

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Duduk di atas Kotak Sejarah

Tinggal di sebuah kota selama bertahun-tahun, tidak lantas membuatmu mudah menemukan tempat untuk duduk dan sekedar berbincang. Lebih dari lima tahun aku menghirup udara Purwokerto, nyatanya aku masih saja kebingungan mencari tempat nongkrong. Kami –aku dan travelmateku- berputar-putar cukup lama tanpa arah yang jelas. Namun, kombinasi udara siang yang panas, dan sinar mentari yang terik memaksaku cepat-cepat mencari sebuah tempat duduk lengkap dengan meja, untuk keperluan menulis. Akhirnya kami memutuskan mengarahkan laju kendaraan ke arah barat Purwokerto, menuju sebuah warung kopi.

Di tengah jalan, nyala merah sebuah lampu lalu lintas memaksa kami berhenti. Dan tepat disitulah aku melihat sebuah bangunan tinggi di persimpangan jalan. Tidak, ini bukan pertama kalinya aku melihat bangunan tersebut dan berfikir untuk memasukinya. Kali ini aku berfikir, kenapa tidak memasukinya sekarang saja? Celetukku ditanggapi dengan baik oleh kembarku yang dengan segera merubah arah laju fluffy –sebuah motor bebek lawas yang setia. Maka disinilah kami, menyalahi rencana mencari tempat yang nyaman untuk menulis dan justru bersiap memasuki sebuah bangunan dengan plang bertuliskan “Museum Bank BRI”.

Kami meninggalkan fluffy di tempat parkir yang sempit, lalu melangkah melewati pintu samping. Dugaanku salah. Ternyata pintu ini tidak membawa kami menuju museum. Rupanya bangunan ini terdiri dari dua bagian utama; Museum Bank BRI dan Bank BRI itu sendiri. Namun tidak sulit untuk membedakan pintu menuju kedua ruang tersebut. Perbedaannya cukup kontras, pintu kaca untuk kantor Bank BRI dan pintu model jadul untuk masuk ke museum. Kami memilih pintu jadul nan terawat, dengan tulisan black&white sederhana di atas selembar kertas A4 yang memastikan bahwa itu adalah pintu masuk menuju museum.

Kami memasuki museum dengan leluasa; sebab tak ada satpam yang menjaga dan pengunjung yang hanya beberapa. Aku mengambil jalan ke kanan, melihat-lihat pajangan mata uang dari masa-masa. Ada mata uang dari masa kerajaan Majapahit, Belanda hingga beberapa mata uang yang pernah digunakan Indonesia dari dulu hingga sekarang. Beberapa lukisan yang dipajang menceritakan bagaimana system peminjaman uang pada masa dahulu. Terlihat beberapa orang sedang mengantri di teras depan rumah Raden Aria, menunggu giliran bertemu dengan Raden Aria untuk mengajukan pinjaman uang. Pada lukisan yang lain, digambarkan pula bangunan yang menjadi cikal bakal BRI di Purwokerto.

Setelah deretan lukisan, aku mendapati beberapa koleksi pakaian kebesaran Raden Aria Wiriaatmaja beserta istri. Koleksi jas yang dahulu dipakai oleh beliau, pakaian kehormatan, hingga rompi yang selalu dipakai. Sepintas dengar, aku memang mengetahui kalau Raden Aria Wiriaatmaja adalah pendiri Bank BRI. Namun, aku lantas bertanya-tanya, dimanakah cerita mengenai pendiri tersebut dan sejarah berdiri Bank yang lahir di Purwokerto ini?

Perhatianku teralihkan oleh sesuatu yang lebih menarik. Sebuah ruang tiga dimensi yang memancarkan banyak warna. Dengan seksama kuperhatikan deretan diorama tersebut. Aha, ternyata disini ceritanya! Diorama-diorama tersebut menunjukkan kejadian-kejadian penting dalam sejarah berdiri Bank yang dalam perjalanannya pernah bernama Bank De Poerwokertosche Hulp en Spaar Bank Inlandsche Bestur Ambtenaren itu.

Secara resmi, BRI berdiri pada tahun 1968. Namun, kegiatan pinjam meminjam yang menjadi dasar berdirinya bank tersebut sudah dimulai sejak beberapa tahun sebelumnya. Dikisahkan pada suatu ketika pada tahun 1894, Raden Aria yang saat itu menjadi patih di Kabupaten Purwokerto menghadiri sebuah hajatan. Adalah seorang guru yang mengadakan acara hajatan nan meriah untuk anaknya yang baru saja dikhitan. Kondisi pada saat itu tidak memungkinkan bagi seorang guru untuk mengadakan hajatan yang mewah. Pemikiran itu yang mendasari Raden Aria untuk menyelidiki lebih lanjut. Hingga akhirnya diketahui bahwa untuk mendanai hajatannya, sang guru meminjam uang kepada rentenir dengan bunga yang sangat tinggi. Sejak saat itulah, Raden Aria menggunakan system pinjaman a la Bank kepada rakyat Purwokerto.

Yang menarik, Raden Aria memulai kegiatan pinjam meminjam tersebut dengan cara mengelola uang kas masjid. Mengetahui hal tersebut, pemerintah Belanda memerintahkan Raden Aria untuk menghentikan kegiatannya. Sebagai gantinya, pemerintah Belanda mengeluarkan mandat untuk mendirikan sebuah bank simpan pinjam dibawah pemerintahan Belanda.

Bank tersebut terus beroperasi dan semakin memiliki banyak nasabah. Melalui banyak perubahan dan perombakan disana sini, BRI nyatanya tetap bertahan hingga kini, bahkan telah menjadi Bank yang berskala nasional.
Yah, aku terpikat pada cerita-cerita yang menempel di kaca pembungkus diorama-diorama tersebut. Pertama, karena sejarah tersebut mengenai sesuatu yang besar namun sejatinya berasal dari kotaku sendiri. Yah, aku menyebut Purwokerto sebagai kotaku. Meski aku hanya menumpang tinggal disini, namun banyak hal di hidupku yang terjadi disini dan itulah yang membuat aku menghargai Purwokerto. Kedua, karena kehebatan orang-orang di balik pembuat diorama tersebut. Aku dan kembar¬-ku berdecak kagum, mengagumi keindahan diorama tersebut. Satu hal yang kami amati adalah, si pembuat sangat memperhatikan detail untuk menggambarkan kejadian dengan sempurna. Miniatur orang dibuat dengan memperhatikan mimik muka, gerakan badan yang alami, lipatan kain yang terbentuk karena gerakan tubuh, hingga –ini yang paling aku kagumi- pemilihan pakaian. Si pembuat menggunakan kain jarik yang berbeda-beda motifnya sesuai kasta yang disandang. Setahuku, kain jarik memang mempunyai banyak corak, dan corak-corak tersebut merepresentasikan strata-strata sosial dalam masyarakat. Bagiku, detail itu sangat membantu pengunjung untuk mengenali orang-orang yang ada dan mempermudah membaca situasi.

Menjelajahi sejarah BRI dalam kotak museumnya, akan menjadi menarik jika kita tahu lebih awal tentang sejarah berdiri BRI. Sayangnya, aku membaca cerita tersebut justru ketika aku melangkah menuju pintu keluar. Sepertinya, museum BRI membutuhkan sedikit papan yang menunjukkan rute penjelajahan museum. Atau setidaknya tanda panah yang menuntun langkah kaki pengunjung. Yang tentunya, dimulai dari cerita mengenai sejarah berdirinya Bank Rakyat Indonesia.

Selangkah lagi menuju pintu keluar, aku melihat sebuah tangga berputar menuju kebawah. Kami saling berpandangan, sebelum kemudian kaki-kaki kami secara serentak menuruni tangga tersebut. Tiba-tiba aku merasa kami sedang menuju ruang bawah tanah tempat penyimpanan peralatan sihir. Yah, bukan salahku berimajinasi seperti itu. Lantai bawah ini, jauh lebih sepi dan dingin ketimbang lantai atas. Hiyy!

Ah, rupanya lantai bawah ini juga menyimpan koleksi-koleksi BRI dari masa ke masa. Jika lantai atas banyak menampilkan foto, lukisan dan diorama, maka lantai bawah menyuguhkan secara tiga dimensi benda-benda penting dalam sejarah perjalanan BRI. Mesin ketik, mesin penghitung uang kertas dan logam serta brankas penyimpanan uang ditampilkan dalam banyak model dan usia. Di tiap-tiap mesin bekas tersebut, ditampilkan pula informasi di kantor cabang mana dan tahun berapa mesin tersebut pernah digunakan.
Melewati deretan logam-logam tersebut, terpampang sebuah papan yang menampilkan beberapa struktur direksi sejak awal mula berdirinya Bank BRI. Tak jauh dari gambar para direksi BRI, terlihat symbol-symbol yang pernah dan menjadi logo BRI saat ini. Beberapa sertifikat dan penghargaan turut pula dipajang. Sama dengan lantai atas, lantai bawah pun dibiarkan sepi tanpa satpam apalagi kamera pengawas. Benar-benar museum yang terasing.
Setelah memastikan tak ada lagi yang belum kami pelototi, kami lantas naik keatas dan lekas mencari sesuatu yang bisa kami duduki. Ya, berjalan memutari museum cukup membuat kami yang tak pernah berolahraga merasakan kelelahan. Baik di lantai atas maupun bawah, tak ada kursi atau sesuatu yang menyerupai kursi. Susahnya mencari tempat duduk. Jangan-jangan gara-gara tak ada kursi, tak ada pula pengunjung yang datang? Syukurlah kami menemukan kursi kosong di sebelah pos satpam yang juga kosong. Kami duduk, menghela napas dan minum perbekalan air. Fyuhh.

Habis sudah waktu untuk berlibur, kembar-ku mengingatkan. Yah, ia dikejar deathline menulis, yang berarti kalau tidak menepati tenggat waktu (line) ya mati saja (death). Hehehe. Kami lalu meluncur diatas jalanan bersama fluffy, masih dengan perdebatan yang sama: “Mau duduk dimana setelah ini?”

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

5 komentar:

Anonim mengatakan...

kamu bisa duduk di mana saja kamu suka.
kata mbk Ningsih, "Menjadi tuan rumah di negeri sendiri." mari kita mengklaim setiap meter ruang yang tersisa untuk warga Negara Publik

putri venus mengatakan...

begitulah masyarakat indonesia, aku juga.
terkena public-space-less syndrome.

haniemaria mengatakan...

@ Among:
yaah, mari wujudkan yang seharusnya: kita-lah yang menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
karena Indonesia itu luas, ayok mari mencari tempat duduk dengan jalan-jalan lagi bersamaku >____<

@ Nadia:
wah, kalimatmu terasa pesimistis sekali, Nadia..

Anonim mengatakan...

Ayok jalan-jalan, yg dekat-dekat dulu yaaaa. kalo udah cukup tabungan baru kita keliling nusantara.

Anonim mengatakan...

ada tulisan bagus di sini :D

http://julianhoffman.wordpress.com/2011/05/13/the-wonder-of-ordinary-places-2/

Posting Komentar

komennya yah