jejakmu semalam masih berserak.
aku tidak paham, kenapa kau harus selalu berjejak.
setelah menghirup udara luar, baru kusadari bau tubuhmu memenuhi semesta kecilku.
kau berjingkat, berjinjit dan berhati-hati.
tapi kau lupa menutup mulutmu.
udara bicara dan jejakmu terbaca,
aku mengeja.
jejakmu selalu diantara merah, ungu dan hitam.
hey, warna-warna apa itu?
kau tinggalkan mereka, jejak-jejakmu itu.
menempel di sofa, tempat tidur, bus yang kau tumpangi,
lalu melayanglayang ke dunia-dunia yang kau singgahi,
menyapa orang-orang yang bertemu muka.
dan hey, jejakmu ada dimana-mana!
serupa engkau, ia pun menjelajah,
menebar salam.
madu atau racun?
jejakmu,
jejak mereka,
kepulan asap itu,
menyeruak di antara bau manis cinta,
menyesakkan dada.
pada selasa, di duapuluhtiga.
membaca jejakmu
kepada: temanku yang baik
kalau aku tidak salah menghitung, ini sudah hitungan ke sembilan sejak kau mencoba memaksa masuk. hitungan itu dalam skala tahun. aku tidak pernah memberikan kunci pintuku, untuk alasan apapun dan sesementara apapun. barangkali justru itu yang membuatmu selalu mencoba.
jadi begini, kuluruskan saja. memang dulu aku membencimu, dan sangat membencimu. tapi pelan-pelan kuubah itu menjadi sesuatu yang lebih netral. kukatakan, aku tidak membencimu. jadi berhentilah meminta maaf untuk entah apa itu.
aku, dengan segala hormat, meminta maaf, atas kesalahan apapun yang pernah kulakukan padamu. aku minta maaf.
sudah jelas?
kini, aku, dengan segala harap, memohon mu untuk tidak lagi menggangguku dengan cara apapun. aku pikir kau bisa mengerti. kalau belum jelas juga, harus kukatakan, kalau aku sangat terganggu dengan terror-terormu itu.
berhentilah, ada batas kau mencoba, ada batas kau harus berhenti.
aku tidak tau apa kau bisa membaca tulisanku. tapi, mengingat daya lacakmu yang –harus kubilang apa?-, mungkin saja kau bisa membacanya.
terimakasih atas pengertianmu.
hanie maria.
* tulisan ini –meminjam istilah melyn- kumuntahkan hanya agar tak lagi tinggal, terendap dan membusuk di kepala.
si ompong yang keren
Belajar memang dari mana saja dan dari siapa saja. Kali ini, aku belajar dari adik kecilku, seseorang yang selama ini aku cekoki bermacam-macam hal.
Aku sudah pernah bercerita tentang adik bungsuku?
Baiklah, kuceritakan lagi ya. Hehehe.
Hari ini dia berusia 7 tahun 2 bulan 4 hari. Dia dilahirkan ketika aku berusia 17 tahun. Kebayang kan, jauhnya? Sekolah yang dimasukinya kini, membuatnya bersiap setiap jam 06.45 pagi, dan sampai dirumah jam 14.00. Untuk ukuran anak berumur 7 tahun, dia termasuk jangkung, kurus. Makin mantaf dengan gigi depan yang ompong dua duanya.
Kalau sudah bercerita, orang yang mendengarkan, gak boleh nyambi ngapa-ngapain, lalu dia akan bercerita dengan sangat antusias, disertai tangan yang bergerak-gerak, mata berbinar dan suara keras [kok kayak nulis deksripsi diriku sendiri, sih?].
Dan kemarin, dia bercerita tentang apa yang dia alami di sekolahnya. Begini katanya, si ustadz [panggilan untuk gurunya di sekolah] bertanya kepada setiap anak, “Ayo sebutkan cita-cita kalian..”. Tiba pada gilirannya, si ustadz pun bertanya, “Hawwin kalau udah gede mau jadi apa?”. Dan dia pun menjawab dengan bangga, “Sopir truk!”.
Sopir truk itu cita-citanya dari duluu banget, dari pertama dia tau benda bernama truk. Agaknya sikecil Hawwin terinspirasi punya cita-cita nyleneh dari kakaknya yang kini sedang puber remaja; cita-citanya dulu ingin jadi pintu. Ahahaaa.
Aku senang adikku sudah belajar berani mengakui dirinya [cita-citanya], didepan teman-temannya. Apalagi itu bukan profesi yang lazim diidam-idamkan. Aihh, kerennya adikku!
a happy tea family
you know Panda, tea is a new coffe..
Membaca artikel tentang teh di sebuah majalah perjalanan edisi terbaru, membuatku tersadar betapa aku juga sebenarnya menikmati teh.
Aku mengenal minuman seduhan teh, sejak aku kecil. Ibu dan Bapakku maniak teh. Setiap pagi mereka membuat teh. Setiap petang juga membuat teh. Kalau ada tamu disuguh minuman teh, kalau Ibu pusing, selalu diobati dengan teh, kalau bepergian selalu membawa termos minum berisi teh hangat. Tea addicted. Jika Ibu suka teh dengan sedikit gula, dan teh yang berwarna pekat kental, maka Bapak suka teh dengan gula standar dan berwarna terang. Kami menyebutnya, camprang.
Kebiasaan mereka diturunkan kepada kami, anak-anaknya. Namun dari ketiganya, hanya aku yang mewarisi darah pecinta teh. Hehehe. Adikku yang pertama, tidak terlalu suka. Adikku yang kedua apalagi. Dia masih kelas satu SD, fasenya masih suka susu putih, dua kali sehari.
Witing tresna jalaran saka kulina. Bisa jadi, aku menyukai teh, karena disuguhi teh setiap harinya. Aliran yang kuikuti, cenderung mengikuti aliran Ibu: teh kental dengan sedikit gula. Huh, mantaf!
Lalu, kebiasaan itu aku bawa sampai ke tempat tinggalku di dekat kampus (baca: kos). Kadang, pagi hari aku membuat secangkir teh. Teh buatku hanya cocok di pagi hari, bersanding dengan kicau burung dan langit biru. Sementara kopi, adalah teman sewaktu malam.
Namun, perasaan memang tak bisa dibohongi, rasa rindu tak bisa dibawa pergi. Sampai saat ini, belum ada yang mampu menandingi nikmatnya teh yang aku bikin di rumah. Apalagi kalau dibikinkan oleh Ibu. Barangkali karena dirumah ada bau cinta, ada bau kehangatan. Sesuatu yang belum bisa aku ciptakan di kamar kosku.
Kenikmatan menyesap teh itu, ada tiga tahapan, kawan: pertama, melihat warnanya. Kedua, menghirup baunya. Ketiga, menyeruputnya perlahan. Yang ketiga ini yang paling wajib: minum teh itu hanya boleh dengan cara diseruput.
Dan semuanya akan menjadi sempurna, ketika aku melakukannya dirumah, disertai dengan kebiasaan-kebiasaan disana. Cerita Ibu tentang kejadian di sekolah tadi, wejangan Bapak soal kesehatan atau norma dan agama, hingga menertawakan tingkah polah si kecil Hawwin yang berupa perpaduan antara bodoh lucu dan polos.
Rangkaian itu semua yang membuat teh dirumah terasa begitu menenangkan.
10.30 pm
Sambil mendengarkan takbir dari masjid-masjid di sekitar rumah.
sedang berusaha melawan lupa
tulisan lama, kuputuskan dipublikasikan: untuk menjamin ingatanku takkan menghapusnya
seperti semuanya, Lebaran kali ini, saya pun meliburkan diri dari segala aktivitas. berganti dengan acara pulang kerumah dan berkumpul bersama keluarga.
tapi toh, libur ada batasnya. saya pun kini, kembali beraktivitas dengan kesibukan yang dulu menerpa. pun dengan kesibukan di sebuah ruang kreatif, Padang Ilalang.
Padang Ilalang. ruang ini, saya dan teman-teman gagas, pada Juli 2009 lalu. meski kami baru sanggup membukanya pada Desember 2009. saat itu, saya dan dua teman lainnya mencoba menerjemahkan apa yang menjadi keinginan kami, menjadi sebuah bentuk nyata. saya, Ade dan Rini, memang sama-sama menyukai dunia anak. rasa suka itu kemudian merambat pada sikap peduli, yang lalu mendorong kami untuk bergerak. tentu saja, hal itu berdasar pengalaman kami yang sudah-sudah. banyak punya mimpi, merumuskannya dalam bentuk konsep, tapi tak pernah ada gerakan nyata. hahaha, dasar anak muda.
maka, kami mencoba untuk tidak menjadi perfeksionis. yang penting konsep besarnya sudah matang, ada ruang dan beberapa barang yang dibutuhkan. lalu, kami beranikan diri untuk membukanya. jreng jreng jreng.
dan, taraaaa, berdirilah Padang Ilalang, sebuah ruang kreatif, yang terletak di bilangan Jl. Raya Notog no.334, Patikraja.
dan sekarang sudah bulan September, meski lambat, kami mencoba untuk terus berjalan. secara fisik, Padang Ilalang memang terlihat seperti perpustakaan. sebuah ruang dengan cat berwarna warni, tikar terhampar ditengah, rak (semoga kardus bekas yang dibungkus kain bisa disebut sebagai rak. hehehe) penuh buku ditiap sisinya, dan rak kayu yang berisi macam-macam alat permainan. namun, setiap jadwal buka, yaitu tiap hari minggu, kami mencoba mengisinya dengan satu tema. temanya beragam. seperti main sepakbola, layangan, outbond ke curug, membuat kreasi lego dari kayu bekas hingga bermain lempung. karena itulah, kami sering meyakinkan banyak orang jika Padang Ilalang tidak 'hanya' sebuah perpustakaan.
anak-anak riang, kami pun senang. hahaha. meski tidak lantas menjadi patokan, tapi kami bahagia jika melihat tawa anak-anak. kadang, mereka datang berbanyak, sampai 20 hingga 30 piyik-piyik. tapi pernah juga, yang datang bisa dihitung hanya dengan jari tangan kanan. hfuuh..
apa nggak susah menghidupi ruang sosial seperti Padang Ilalang? lebih dari satu orang yang melontarkan pertanyaan serupa kepada kami. gimana ya, mau jawab "susah" kok kayaknya nggak ikhlas banget. tapi mau jawab "nggak" juga kok kayaknya nggaya banget. akhirnya sering kami hanya memberikan senyum, sebagai jawaban, seperti ini :)
yah, tidak mudah memang, tapi itu pilihan kami. begitu. mulai dari menghandle anak-anak yang beragam jenisnya, sampai mencari uang untuk dana operasional. tapi sekali lagi, saya meyakinkan diri, kami tau kemana kami berjalan dan apa yang kami inginkan.
maka, liburan kemarin cukup menyegarkan otak kami. kami meliburkan kegiatan Padang Ilalang selama tiga minggu, yang artinya tiga kali pertemuan dan segala tetek bengek tematik, keuangan, perkembangan anak dan bla bla bla lainnya. dan, kami membawa isu baru untuk dibicarakan bersama. apalagi kalau bukan tuntutan pemenuhan kewajiban untuk segera: lulus.
bwaaaaaaaahhhhh, susah sekali mengetik lima huruf itu, hahaa. kami berempat -oya, ada satu teman lagi di Padang Ilalang, yang datang tidak lama setelah kami membukanya, namanya Rahmi- memang sama. sama-sama satu kelas di kuliah, sama-sama belum lulus dan sama-sama mblasur -tingkatnya lebih tinggi daripada males ataupun ndableg-.
mengingat kebutuhan yang amat sangat mendesak, kami memutuskan untuk mengurangi intensitas kegiatan di Padang Ilalang. caranya? jelas, kami tidak mungkin untuk meniadakan kegiatan hari minggu, yang ada kami hanyalah menyederhanakan kegiatan di tiap minggunya. sepakat, palu telah diketuk. tok tok tok.
lalu siang tadi, teman dekat kami sekonyong-konyong bertanya tentang kegiatan pasca lebaran pada Rini. setelah dijelaskan, ia berkata datar:
"sekarang alasannya nggarap skripsi, besok alasan kerja, lalu kawin. kelamaan, mending bubar sekarang aja"
yaah, reaksi pertama saya adalah kesal, tentu saja. hati saya berontak.
tapi hanya diawal, selanjutnya saya diam. mencoba bertanya pada diri sendiri.
lama, akhirnya saya menyadari sesuatu.
kalimatnya membuat saya memahami suatu simpul. kami berempat, telah menimpakan kesalahan-kesalahan kami kepada Padang Ilalang. korbannya, eksistensi Padang Ilalang dan kekecewaan anak-anak. sial. saya sesungguhnya malu menuliskan aib ini, tapi bagaimana lagi? saya harus malu biar tak lagi mengingkari janji.
lalu saya teringat lagi, pada koar-koar janji, keteguhan-keteguhan yang seenaknya saya lontarkan. sebenarnya sederhana, saya tidak menghormati pilihan saya sendiri. kami tidak menghormati pilihan kami.
siapa yang menyuruh kami mendirikan Padang Ilalang? kami sendiri.
siapa yang berkomitmen untuk menjaga tiangnya sampai jauh? kami bersepakat untuk itu.
alih-alih konsisten, saya justru konsisten dengan inkonsistensi.
*** terimakasih untuk caci makimu, Az.
melankolia
begini rutinitasku sekarang.
kaki bersila, membaca, membandingkan teks-teks lalu berakhir dengan mata lelah, lalu tertidur dengan tidak tenang.
bangun dengan tergesa-gesa, lalu,
kembali melakukan aktivitas yang sama.
lalu aku ingat kamu,
coba kamu ada disini.
yang aku maksud ada disini, adalah ada disini, tepat disampingku.
asyem, rutinitas membuatku menjadi sangat melankolia
Menelusuri Jejak Masa Lalu
kecewa
setelah lewat ratusan detik sejak waktu yang ia tetapkan, aku mengambil kesimpulan bahwa dia tidak akan datang. lagi.
untuk kesekian kalinya, dia mengingkari janji yang dibuatnya sendiri. bukan hal yang baru memang, selama aku mengenalnya sampai kini.
tapi kupikir, dengan kontemplasi-kontemplasi yang telah dia lakukan, dia sanggup untuk berubah. tapi tidak sama sekali, tekadnya hanya sebatas rangkaian huruf dalam sebentuk cerita.
meski berat, harus kuakui bahwa dia ternyata belum lagi bertanggungjawab pada pilihan-pilihan yang telah dia ambil secara sadar. menjalani pilihannya, dan berani menghadapinya.
maaf,
tapi kali ini aku benar-benar kecewa.
dongeng sebelum bangun
tubuh disebelahku masih membeku,
meruapkan bau keringat yang kini kuhafal.
kuputar tubuhku kekiri agar bisa memandangnya dengan jelas.
kutopang kepalaku dengan tangan kiri,
kujaga agar tak membangunkannya.
hanya ada suara detak jantungku, dan detaknya yang teratur, ia masih berada di awang-awang.
semalam ia tidur larut, maka kubiarkan ia bangun siang, selalu seperti tiap harinya.
siapakah tubuh disebelahku ini?
aku memang hafal lekuk mukanya, tubuhnya,
tapi aku merasa tak pernah cukup untuk mengenalnya.
sambil tetap memandang matanya yang terpejam,
aku mengingat-ingat kembali saat-saat pertemuan pertama kita.
saat yang begitu aku tunggu, setelah hampir empat purnama kita selalu bertukar pesan,
tanpa pernah bertatap muka.
aku selalu suka menebak-nebak,
seperti kali itu,
aku membayangkan bermacam wajah yang mungkin menjadi wajahmu,
hidungmu, matamu, rambutmu,
seperti apakah kamu?
dan aku tau,
aku telah jatuh cinta sejak kali pertama kita berjumpa.
apakah kau masih ingat saat-saat itu?
-nanti akan kutanyakan padamu-
bukankah kita saling bertukar cinta lewat mata, sayang?
ah, kau belum lagi punya nama,
aku masih berdebat dengannya soal namamu itu.
memang memilih selalu perkara sulit ya?
hmm, baiklah,
kubiarkan kau terlelap,
bermimpilah banyak-banyak, sayang.
kelak akan ku ingatkan kau akan mimpimu,
dan kupastikan kau untuk mengejarnya.
sampai jumpa lagi.
sepasang bola hitam
ketika kita berbincang, sesungguhnya aku selalu merasa enggan.
karena aku tau, ini akan menguras energiku.
selalu ketika kau mulai berkata-kata, satu titik yang menjadi area perhatianku adalah matamu.
dan ya, matamu menguras energiku.
ia melonjak ketika nadamu meninggi,
ia menerawang ketika kau mengambil jeda cukup banyak diantara kalimat-kalimat yang kau lontarkan,
ia berkaca ketika intonasimu berubah sendu,
ia memberiku banyak kalimat ketika tak ada yang bisa kau keluarkan dari pita suaramu.
meki begitu, aku sungguh benci melihatnya beranak sungai.
kita memang selalu hanya berbincang,
kurang tidak, lebih apalagi.
dan matamu yang hitam, selalu ikut bercerita.
kau bercerita tentang apa saja.
tentu saja dengan perkecualian: tentang dirimu sendiri.
ruang yang kau kunci, lalu kau telan kuncinya.
hilang sudah akses menuju kesana.
aku pernah mengusulkan pada diriku sendiri,
agar aku tak lelah, tak usah pandangi matanya saja.
ha, tapi mana bisa?
cuma sepasang mata itu yang bisa kupandangi dari dirinya.
sebagian besar tubuhnya ia sembunyikan dibalik pakaian-pakaiannya yang panjang.
tubuh yang tak pernah ia perlihatkan pada lawan jenisnya.
pun padaku,
meski kami terlahir dari jenis yang sama.
kau tau,
perempuanku -betapa ingin aku memanggilmu begitu.
tersesat
**untuk seorang yang sedang kebingungan. semoga tidak tersesat.
pfiuhh..
didepanku terpapar pepohonan berbagai macam, kurus dan gemuk berbaur. kabut mulai turun perlahan. terasa dan terlihat jelas, tapi tak tersentuh.
nafasku mulai satu-satu, jalanan semakin menanjak. aku semakin meninggalkan sekumpulan hijau, untuk kembali menuju sekelompok hijau. sial, tubuh mudaku seharusnya mampu melewati jalan ini dengan mudah. tak ada pilihan jalan lain yang memutar. aku harus beranjak dan mendaki.
saat ini entah siang entah malam entah pagi. kabut memang membuat semuanya menjadi abu-abu. tak jelas. ini hari entah keberapa. jelas aku tersesat.
kelelahan, kakiku memaksa aku menghentikan langkah.
meminum air yang kuambil kemarin lusa dari sungai kecil dan mengambil nafas.
ahhh...
padahal ada matahari,
ada kabut, bintang, bulan dan musim.
adakah aku meminta terlalu banyak?
home
apa yang menarik dari sebuah kepulangan?
aku mencoba mencari jawabnya pada Hari Raya Lebaran -yang sangat identik dengan momentum kumpul keluarga- kali ini.
lantas aku mencoba merunut satu-satu.
mulai dari kepulanganku sendiri,
kepulangan Omku dari Bandung,
lalu,
kepulangan Ibuku ke keluarga besarnya ke Kabupaten Banjarnegara.
ha, kepulanganku!
selama ini -sejak aku duduk di bangku SMA- aku menghabiskan sebagian besar waktu di kota Purwokerto, menyewa sebuah kamar disana untuk beberapa bulan atau tahun.
dulu, jadwalku pulang kerumah selalu rutin. seminggu sekali. salah satu alasan yang paling masuk akal, adalah karena uang sakuku yang dijatah per minggu.
tapi sejak aku mulai tercatat sebagai mahasiswa, jadwal pulangku semakin tak teratur. sak karepe dewe', pokoknya mah. pengen pulang ya pulang, ndak pengen ya ngendon aja di kos.
dan semakin berlipat tahunku sebagai mahasiswa, ketidakteraturan jadwal pulangku semakin menjadi. dari sebulan dua kali, bisa sampai dua bulan sekali. tidak ada tendensi apa-apa. kalau aku tidak pulang, itu tandanya, ada yang belum aku selesaikan di Purwokerto dan tidak bisa aku tinggalkan.
biasanya, setiap Lebaran, aku selalu pulang minimal H-4. pada bulan Ramadhan, aku juga selalu menyempatkan untuk lebih sering pulang kerumah -berbuka dan sahur bersama keluarga-. sejak aku tinggal di Purwokerto, sejak 7 tahun yang lalu, jadwal pulangku selalu begitu. kali ini, aku berencana untuk pulang setelah shalat Ied. aku ingin merealisasikan impianku yang tidak pernah kesampaian sejak bertahun lalu: menikmati 10 hari terakhir bulan Ramadhan, sendiri. tapi nyatanya, tahun ini pun impian itu masih harus mengambang, aku memilih pulang. memenuhi keinginan Ibu ;)
***
dari empat saudara kandung Ibu, yang paling jauh adalah Omku. ia tinggal di Bandung. selain momen-momen tertentu, kami hanya bertemu dengan sekat handphone. Lebaran kali ini, kami bertemu pada H+2. kepulangan Omku, selalu membawa kesan seperti ini: ceria, bahagia dan terasa ringan. tidak ada lagi yang berbeda, kecuali bahwa tahun ini, ia kelelahan karena kendaraan pribadi menjadi lebih banyak tersebar di jalan.
***
pada H+3, Ibuku sekeluarga dan Omku sekeluarga, berangkat. kemana? pertama ke Jogja, kemudian ke Magelang dan menginap disana. esoknya, mampir ke beberapa rumah di Banjarnegara, lalu Banyumas, dengan garis finish di rumahku, Kemranjen tercinta.
kami serombongan, tidak ada yang paham peta Jogja. maka, muter-muterlah kami disana, tetap nyasar meski sudah merepotkan banyak orang, hanya untuk menemukan Jalan Malioboro. hahaha. sampai disana, hujan turun, parkiran penuh. jadilah kami hanya menikmati Malioboro dari balik kaca mobil.
karena macet dan hujan deras, kami sampai di Magelang ketika petang. untuk kedua kalinya kami nyasar. karena memang, sudah lama kami tidak kesana, kerumah Bude. ditambah, malam yang sudah mulai turun. biasanya, putra sulungnya yang rajin menjemput di suatu titik. tapi kali ini, ia baru saja sampai kembali di Jakarta. aku menghubunginya, Omku menghubungi ayahnya. riweuh dah. ketika akhirnya kami sampai dirumahnya, ternyata putra bungsunya justru sedang menjemput kami di alun-alun. walah, slisiban.
perjalanan yang melelahkan, sepadan dengan sambutan dan hidangan yang kami terima. Bude dan keluarga terlihat sangat senang. yang lebih menyegarkan, ditengahtengah berlimpah daging, Bude menyuguhkan pecel dan buah anggur. yeah! meski anggur tak sefavorit apel, tapi ia tetap kusenangi karena tak mampu kubeli sendiri. hehehe.
***
lalu apa kesimpulannya?
selain untuk melepas rindu, barangkali kepulangan bisa menjadi 'charger' bagi semangat di diri. terutama bagiku, untuk menggeluti kembali sesuatu yang telah lama kutinggal. yihaa!
juga seperti kini, banyak cerita yang sedang kami kenang selama berkumpul bersama kerabat.
akhirnya, sebuah kepulangan, tidak hanya sekedar bertemu kembali secara fisik. tapi juga, bertemu dengan bagian-bagian yang membentuk diri kita menjadi seperti sekarang.
menurutmu, apa yang menarik dari sebuah kepulangan, kawan?
selamat merayakan hari lebaran, bagi yang merayakan.
saya mohon maaf...
masihkah kamu hidup?
ini adalah masamasamu yang sulit
kau tak punya arah tujuan,
jalanmu terhuyung-huyung,
di kepalamu terpapar banyak gagasan,
tapi tubuhmu terpenjara
kau berjalan
terus berjalan,
padahal kau hanya berputar-putar dalam sebuah kotak korek api
tanganmu beku,
bibirmu kelu,
otakmu lama-lama membusuk,
kamu sudah mati
yang kau lakukan hanyalah merutuki keadaan,
mengutuk dirimu sendiri,
mengumpati tuhan,
kau bertanya,
benarkah hanya itu yang selama ini kulakukan?
ironis. kamu bahkan merasa masih hidup, sementara kamu sudah tidak punya eksistensi di dunia ini. namamu sudah hilang.
fiuuh,
apa yang bisa kulakukan untuk tubuh yang tak ingin lagi hidup?
untukmu, apa yang bisa kulakukan untukmu?
07 07 2010
Purwokerto Banget Lah!
ada apa dengan kita?
menjaga hati sahabatku,
mencuri waktu untuk bertemu
rasakan perih sahabatku,
membuang waktu untuk cemburu
terbesit barang sedetik kita jauh
hilanglah kita jatuh
terbesit barang sedetik kita jatuh
kau tersungkur, tersungkur, dan jauh
lalu ku tersungkur, tersungkur, dan jauh, dan jatuh
habiskan hati sahabatku,
mencari ragu untuk dibunuh
menangkap nyali sahabatku,
mengisi jantung seakan candu
petik sakit, percayai, sangka baik, takkan sulit
beri, trima, senyum, hina, sakit, rasa, tawa sahabat
Frau - Salahku, Sahabatku
sekotak pagi penuh denganmu
selintas kulihat langit,
segera aku tahu kau akan datang.
kumatikan segala bunyi,
lalu aku mendengarkan suaramu.
kubawa tubuhku menyesap harumnya tanah basah,
kuajak kulitku merasai dinginnya hujan,
kuhirup udara yang semakin dingin,
kujejakkan kakiku untuk mencintai bumi,
pejamkan mata lalu kudengar suara hujan,
suara yang hanya bisa kau dengar bila kau telah mampu menikmati hujan,
adakah itu suaramu, hujan?
yang kali ini lirih dan lembut.
rasanya baru kali ini aku mendengarmu menyanyikannya dengan begitu pelan.
semoga kau tidak sedang bersedih.
ah, apa pula itu?
ada suara yang asing dan nyaring,
hampir tak pernah lagi kudengar,
ah, itu suara siul burung!
kukirim doa untuknya: semoga ia diberi umur panjang.
kunikmati setiap tetes, bau, rasa, semilir hujan
dan kubiarkan hujan menerima diriku secara penuh dan utuh,
sekotak pagi ini membuat aku merasai dan tak bisa menolak untuk mencintai-Mu,
dan mencintaimu yang selalu datang membawa bahagia, hujan.
"...dan aku akan hilang, ku kan jadi hujan,
namun takkan lama, ku kan jadi awan..."
***
saat aku begitu menggilai hujan.
sebab setelah katakata, tindakan adalah konsekuensinya*
sepagi ini, tak sengaja aku membaca dua tulisan temanku dengan tema yang bersinggungan: perang.
dan sejak sepertiga pagi tadi, aku memutar musik milik Saharadja: grup musik jazz-instrumental yang berasal dari Bali. tidak mendapat tempat di Indonesia, namun disambut hangat di berbagai negara di dunia. salah satu karyanya yang paling kusukai, berjudul Bali Smile. lagu itu dimaksudkan untuk mengenang pemboman yang dilakukan terhadap Bali. di akhir lagu, terdengar suara anak-anak kecil melantunkan beberapa kata, yang terakhir berbunyi: bring back Bali's smile, bring back Bali's smile. dalam album Limited Editionnya, Saharadja menyanyikan ulang lagu yang terkenal sebagai ikon perdamaian; Imagine.
lalu siang ini, aku berbincang dengan temanku menggunakan fasilitas short message service, awalnya kami flashback mengenang diri kami di masa lalu, dengan karakter yang –kami memilih menyebutnya sebagai- lucu. hingga kemudian, pembicaraan mengalir menjadi tema hubungan sesama manusia. temanku menulis kalimat seperti ini:
jelas, menyakiti merupakan unsur terpenting yang membangun sebuah perang, selain kalah dan menang.
lalu, sebelum kita beranjak pada isu yang lebih global dan sedang tren belakangan ini; sudahkah kita berlaku damai pada sesama kita di lingkungan sekitar kita, atau bahkan pada diri kita sendiri?
sebab aku percaya, perang yang terjadi di dunia pada dasarnya bersumber pada perang didalam diri sendiri.
sudah banyak yang membahas topic perang besar yang tengah berlangsung di dunia. bagiku, adalah sama pentingnya untuk berlaku damai pada diri dan sekitar kita, sebagai usaha konsistensi dari apa yang kita koar-koarkan selama ini: hentikan perang.
*dari seorang teman,
merci pour m'inspirer
berhentilah.
tiba-tiba saja aku merasa sesak.
upacara bangun tidur yang buruk.
aku meyakini bahwa limabelas menit setelah bangun tidur adalah masa-masa emas dalam hari itu. menitmenit itulah yang akan membuatmu melewati hari dengan indah atau sebaliknya.
buruknya, menitmenit itu hari ini kulewati dengan ketakutan.
aha, lampu merah!
****
percakapan semalam masih sangat membekas.
pertanyaan pertanyaan yang memburu, mendesak meminta jawaban. berreinkarnasi menjadi tokoh-tokoh yang mengejarku dalam mimpi semalam. itu sebabnya aku terbangun dengan panik, bingung dan terus bertanya.
arrrrgggghhhhhhh.
mungkin anjuran mematikan handphone sebelum tidur adalah benar adanya. sehingga kita tidak perlu berbincang dengan mata mengantuk dan hati merutuk.
ketakutan-ketakutanku yang tidak beralasan ini, kuredam dengan mendengarkan lagu dari berbagai macam genre yang tersedia di radio.
barangkali bisa kutemukan inspirasi dari sana.
dari sebuah lagu, aku mengulang-ulang sebuah kata, mirip mantra.
berhentilah mencari, karna kau tlah menemukannya.
oho, lampu hijau!
****
otakku langsung melesat menuju berbagai katakata dari teman dekatku.
katanya: berhentilah bertanya, sebab kau telah menemukan jawabnya. kau hanya enggan mengakuinya.
aku selalu mendengarkan orang lain.
aku lupa, kapan terakhir kali aku mendengarkan katakataku sendiri.
ah, ternyata ini saatnya lampu kuning yang menyala.
hati-hati, sayang.
****
170510
dengan sayang, cinta, hormat dan setumpuk maaf.
matanya terpejam, tubuhnya agak miring ke samping. namun, ia berbicara, terus berbicara. tentang apa saja. yang hanya ditanggapi dengan anggukan dan perkataan mengiyakan oleh si penunggu.
terbaring ia di ranjang kecil. sebuah selang terjulur keluar dari balik selimut yang menutupi tubuhnya, membawa aliran air, menuju sebuah ember dibawahnya. bibirnya bergerak-gerak. bercerita tentang mimpi-mimpinya. meski sungguh, tak mungkin baginya. ia yang sekarang ini. ia bahkan tak berkuasa atas dirinya sendiri.
perang sedang berlangsung. dan ia kalah. maka, berbagai jenis obat, pil, tablet, suntikan, memenuhi tubuhnya, menopang hidupnya.
meski begitu, matanya tetap bersinar. menunjukkan kekuatan dirinya yang dibangun sejak muda, dimana ia selalu bekerja keras, kuat dan pantang mencoba menyerah. ironis, kekalahannya kali ini disebabkan keras hidup yang dialaminya sewaktu muda. mudanya bekerja keras, kini di waktu seharusnya ia berdamai dengan sejuk udara, kekuatan hatinya pun diuji.
sayangnya, tak ada yang bisa mengasihaninya. ia selalu menjadi kuat. selalu menjadi kuat. orang hanya bisa mengaguminya, justru ketika ia sangat pantas dikasihani. ketika tubuhnya tak lagi bisa sejalan dengan inginnya, maka ia memancarkan kekuatannya lewat bicaranya. kekuatan terakhir yang ia pancarkan, adalah lewat sinar matanya.
maka, ketika sinar matanya yang terakhir pergi, aku memaksa diriku untuk menjadi kuat. seperti yang selalu diajarkannya. sebulan terakhir bersamanya, tak banyak yang aku lakukan untuk memenuhi segala inginnya. lalu, janji-janjiku dulu untuk sering mengunjunginya, datang bertubi-tubi. menancapkan rasa-rasa bersalah.
di ujung sore, di awal bulan,
aku mengiringimu, dengan sayang, cinta, hormat dan setumpuk maaf.
24032010
-saat kangen menyergap: remebering my lovely Grandma-
bulan di ujung bulan
ia terlahir sebagai anak lelaki satusatunya di keluarganya. entah mengapa, dari kesembilan anak orangtuanya, hanya ia seorang yang bujang. maka, sudah bisa dipastikan, ayahnya mengelu-elukannya setengah mati.
segalanya ia punya, paras tampan, senyum yang memikat, dan tubuh lelaki yang indah. perempuan yang pertama kali bertemu dengannya, akan terpesona. tak bisa melepaskan mata dari sosok indah didepannya. dan perempuan itu akan meminta nama dan alamat surat. saat itu pula mereka mendapat jawaban diluar dugaan: mulutnya terkunci untuk selamanya, ia hanya bisa berbicara lewat mata.
sebab itulah, ia memilih bulan sebagai teman dekatnya. ia bukannya tak bisa menguasai bahasa isyarat, tangannya begitu terlatih. tapi manusia selalu menginginkan lebih. dan ia hanyalah manusia, meski terlahir sesempurna arjuna. tempat favoritnya adalah di puncak sebuah pohon yang terletak di belakang rumahnya. pohon itu besar, kuat, rindang dan meneduhkan. baginya, nama tidaklah penting. di salah satu dahannya, ia menyepi, bercakap-cakap dengan bulan.
bulan yang sabit, setengah lingkaran, bulan tanpa bulan, hingga purnama sempurna. ia selalu menjaganya. melewatkan bulan, adalah melewatkan dirinya sendiri. suatu kali, ia kelelahan dan melewatkan suatu purnama. hari-hari berikutnya, ia sibuk membuat rumah pohon.
demi bulan.
ia mencintai bulan. bulan yang tak pernah mengeluh, tak pernah memaksa, tak pernah memintanya bicara. bulan yang tak bisa bicara. sebab bulan bukanlah manusia.
antara aku, kamu dan gelas susu
- bagiku, kau adalah guru. bahkan mungkin, tanpa kau sadari. gerakmu, katamu, selalu aku kagumi.
+ selalu tepat. itulah dirimu untukku. aku tak pandai berkata-kata dan membual. kau selalu bisa membuat kalimat-kalimat yang bersayap dan mendayu-dayu. di setiap ujungnya, jarimu selalu punya sihir.
- berbincang denganmu membuatku selalu merasa bodoh. aku tak pernah bisa mengerti, bagaimana kau bisa memasukkan memori yang begitu banyak, kompleks sekaligus teratur kedalam kepalamu. mengikuti alurmu, aku terengah-engah.
+ tentangku, aku tau kau banyak bersembunyi. seharusnya aku tak perlu selalu bertanya padamu yang selalu enggan menjawab. seharusnya kau lebih banyak berbicara dengan mulutmu, bukan dengan jarimu, apalagi mata. aku benci menebak-nebak. aku ingin sebuah bentuk, bukan hanya satu dua puzzle yang harus kususun sendiri. karena itu aku harus bertanya pada yang lain, tentangmu.
- aku bisa banyak bertanya tentang diriku, padamu. kau tau terlalu banyak, melebihi diriku sendiri. aku benci dengan proposal yang kamu ajukan, untuk aku-yang-baru. apalagi jika hanya untuk membuatmu merasa nyaman. memahami ternyata tidak berbanding lurus dengan mengetahui.
+ lebih baik aku diam. kau semakin jauh, meski kuantitas pertemuan kita tak berkurang. aku ingin sejajar denganmu, tidak diatas, tidak dibawah. dimatamu, aku selalu salah.
***
mendekati hari yang ke seribu sembilan ratus, sejak kita bisa saling menyapa. tidak ada yang sanggup untuk berbalik dan pergi, dan kita semakin menambah deretan jumlah hari yang kita lalui bersama. kita bersama, dan tetap tidak bisa berhenti saling menyakiti.
mari menari, mari nikmati
mari menari
marilah bersuka cita menari
jangan pedulikan sesama
tapi ingat Tuhan takkan pernah buta
mari bernyanyi
seakan kita takkan pernah mati
lalu sakiti diri sendiri
sadar tak sadar mati menghampiri
ku
sadari
sesali
hidup yang sekali takkan kembali
mari nikmati
indahnya dan nikmat surga duniawi
hanya makhluk bodoh yang berfikir nikmat dunia melebihi nikmat surgawi
ku
ratapi
tangisi
hidup yang sekali tak punya arti
* Tiga Pagi-Mari Menari,
Album Kompilasi L.A Indiefest Vol.III
baca saja pesanku
sudahkah kau baca pesanku hari ini?
jangan biarkan ia terserak diantara surat-surat yang menumpuk di mejamu pagi ini.
atau terselip diantara tumpukan buku-buku yang tengah kau baca. atau tercecar diantara lembar-lembar tulisanmu yang berantakan memenuhi meja kerjamu.
sudahkah kau temukan pesanku hari ini?
ia tersembunyi diantara kegilaanmu pada jejak-jejak perjalanan dan sakit benci cinta yang kau rasa. ia bersembunyi diantara menit-menit yang kau habiskan didepan layar, melihat kehidupan lain disana. ia menyamar sebagai angka-not yang merangkai nada yang kau pilih untuk mengiringi langkah-langkah kakimu. hati-hati, ia juga serupa air yang menetas deras diatas atap kamarmu, di beranda rumahmu, juga yang jatuh diatas kepalamu.
pernahkah kau hafalkan warna pesanku?
berhati-hatilah, sebab kau akan kesulitan. pesanku seperti semua warna yang pernah ada. kadang hitam, ungu, nila, oranye. pernah juga kukirim pesan tanpa warna, transparan. semoga kau tak kesulitan membacanya.
ah, jangan pula sekali-kali kau reka-reka bentuk pesanku. sebab ia serupa benda cair, padat, dan gas sekaligus. sekali waktu, aku pun kewalahan mengidentifikasi bentuknya.
jangan pula kau nanti-nanti datangnya. mungkin sehari kukirim puluhan kali. bisa jadi tak kukirim satu pun beberapa lamanya.
pesanku datang dan pergi.
mencuri, meminta, dan memaksa.
ia ada dimana-mana.
mengintai, mengawasi dan mengingatkanmu.
***
rini, ade, dana: i love you.
mari pulang
kita selalu bertemu dalam ruang yang sempit.
yang hanya mungkin untuk aku dan dirimu saja.
kali ini kau mengenakan kaus warna favoritmu: putih.
meski favorit, baru kali ini aku melihatmu memakainya.
rasanya janggal.
seperti memadukan dua hal yang bertabrakan.
kita berbicara empat mata,
berawal dengan pertanyaan tentang cuaca.
aku masih ingat, waktu itu warnaku biru, nyaris kelabu.
dan kau merona dengan merahmu.
lalu pembicaraan kita menderas bagai hujan.
tentu saja disertai petir, guntur dan pelangi sebagai pelengkap.
dan kita, sayangnya, tak bisa menghentikannya.
aku pun masih ingat raut wajahmu itu.
membosankan, kataku.
matamu sendu, bibirmu kau biarkan begitu adanya tanpa usaha menarik-narik kekanan ataupun kekiri.
alismu bertautan dengan garis tengah sebagai pusat, dan mataku kau jadikan pusat tatap tajam matamu.
sampai akhirnya kita berbicara tentang sesuatu yang paling kita hindari.
apalagi kalau bukan perpisahan.
perpisahan yang sudah sama-sama kita persiapkan.
jam sudah berdentang duabelas kali, dan kita harus berpisah.
menarik bukan?
seperti kisah cinderella saja.
sayangnya, kau bukan pangeran dan aku bukanlah si upik abu yang beruntung.
aku bercerita panjang lebar dan kau mendengarkan.
kau bercerita hingga dalam, dan aku mendengarkan.
inilah sebuah penghabisan.
tapi pertanyaan kita kali ini, hanya bisa dijawab oleh diri kita sendiri.
***
kau diam,
tetap setia dengan wajah membosankan yang terus kau perlihatkan padaku.
aku pun memilih bungkam,
melihatmu membuatku muak dan mana sudi aku memulai pembicaraan.
ah, sudah terlalu lama kita saling berbohong,
ada pembicaraan yang sama-sama kita mengerti tanpa harus bertukar arti.
***
yah, akhirnya kuarahkan anak panah ke ujung paling kanan.
mencari tanda silang, lalu kutekan.
wajahmu yang membosankan itu hilang.
sudah waktunya masing-masing dari kita pulang.
***
tigapuluh, empat, nolsepuluh
purwokerto-
adek jajan
hai!
postinganku kali ini family edition. hehe. jadi, aku pengen bercerita tentang adikku.
yang kumaksud disini, adik bungsuku yang masih duduk si bangku TK, menuju SD dalam beberapa bulan kedepan.
ia lahir sewaktu aku kelas dua SMA. kondisi yang mengharuskan aku menuntut ilmu jauh di luar kota, membuatku harus kost. semenjak SMA. praktis aku jarang dirumah. paling banter satu kali tiap minggu kusempatkan pulang. apes-apesnya ya sebulan sekali.
namun kali ini, aku berkesempatan tinggal dirumah dalam waktu lama. salah satu anggota keluarga, sakit, lumayan parah, mengingat ia termasuk dalam golongan pasien bedrest.
karena itulah, sepatutnya, aku tinggal dirumah. apalagi tak ada yang menghalangiku untuk tetap tinggal di rumah keduaku, di Purwokerto sana. yahh, beginilah kalau jadi mahasiswa semester banyak yang tugas akhirnya tak juga selesai.
sebulan dirumah, semakin membantuku memahami sifat, kebiasaan dan karakter keluarga dirumah. yang secara kasat mata paling gampang di titeni itu kebiasaan adik bungsuku. meski nantinya, aku menyadari bahwa sebetulnya justru dia yang paling susah dipahami.
ini soal adikku yang doyan banget berjajan ria.
sebagaimana anak umur 7 tahun lainnya, masa itu merupakan masa bermain. yang juga meliputi masa 'jajan sebanyak-banyaknya'.
setiap kali berangkat sekolah, ia mendapat uang saku Rp 1000. pulangnya, uang itu telah raib. berganti jajanan seperti batagor, atau mainan berharga murah. selalu.
ia pulang pukul 10.00, berganti pakaian sebelum melesat hilang bersama sekawanannya.
nah, biasanya pukul 11.00, ia akan pulang, memasuki rumah dengan berlari, napas terengah-engah, dan meminta uang untuk kembali jajan.
jika sudah seperti itu, aku akan menasehatinya habis-habisan tentang buruknya jajan, ttg kebersihan jajan, dan bla bla bla. yang aku yakin, tak didengarnya dengan baik. sebab ia, bersikap tak peduli, lalu mutung karna gak kukasih uang.
nah, itu kalo aku ada dirumah. kalo aku gak ada? mbak yang dirumah, pasti bakal ngasih karena gak tega, dan rasa sayangnya dia ke adikku. huhu, rasa sayang yang sayangnya, salah penempatan.
huh, aku cuma membayangkan
barusan, ia berpolah sperti biasanya. intriknya kali ini, dia mau menukar jajan yang sudah dibelinya, dengan uang Rp 500. meski sebenarnya gak tega, tetap kutolak permintaannya.
akhirnya dia ke ruang depan, dimana ada Bude-Budeku sdg berbincang. entah apa yang dia katakan, dia pergi bermain, melewatiku sambil tersenyum simpul.
lalu aku mengeluhkan hobi jajannya itu. kata mbak yang ada dirumahku, "dia kan suka beli jajan, trus dibagi-bagiin ke temen-temennya, mbak"
waduhh, aku jadi bingung. gimana cara bikin dia jera jajan, tanpa harus bikin dia jadi pelit?
bad-mood
selalu seperti ini.
beberapa saat setelah membaca sebuah tulisan, maka hasrat menulisku meluap-luap.
teringat akan blog-ku yang sudah mati suri.
teringat pada list-list menulisku yang belum terpenuhi.
lalu, seperti biasa, aku akan memutar musik pengantar menulis, dan mulai membuka notepad.
dan musik jazz akan mengalun pelan.
seirama dengan ketukan jariku di keyboard.
tapi jangan salah, setelah beberapa tulisan kuhasilkan, biasanya akan muncul rasa malas.
dan merasa sudah menunaikan tugas-tugasku.
maka aku tak ubahnya seperti kerupuk. semangat yang kupunya hanyalah semangat kerupuk.
disiram malas, langsung mimpes.
kemudian rasa bersalah akan timbul, timbul tenggelam.
tenggelam oleh setumpuk kegiatan lain.
kadang, kesibukan lain membuatku memaafkan diriku sendiri yang malas dan lalai.
bagiku, tak ada bagusnya mengerjakan sesuatu yang dipaksakan.
dan jadilah, list-listku masih banyak yang belum kucoret, atau kutandai centang.
begitulah susahnya, kalau terlalu menggantungkan diri pada mood.
over the hedge!
(masih) tentang hujan
diluar hujan.
dan kutantang guntur dengan teriak.
deras hujan berganti dengan rintik. bisa kulihat lewat jendela yang terbuka penuh disamping kananku. mereka seperti berlomba ingin turun dari langit. jatuh dari langit, hanya untuk menuju bumi. dan bergabung dengan sesamanya menuju sungai, selokan atau bahkan hanya menjadi genangan di suatu tempat. rintik hujan, bagiku merupakan kasta tertinggi dari pembagian kelas air yang kususun secara asal. ya, hujan tentu lebih indah dari air comberan, air bekas cucian, apalagi air hasil pembuangan manusia. barangkali karena air hujan, merupakan ibu dari segala air di muka bumi ini. ia jatuh dari kerajaan langit, dengan gerakan yang indah pula, dan selalu dijadikan tema menarik dari tulisan-tulisan penyair, ungkapan cinta pujangga, bahkan syair lagu para seniman.
tapi sisa guntur masih bergaung. kedengarannya seperti prajurit muda yang masih amatir. hanya menggertak. ditinggal para ksatria, yang telah lebih dulu menunaikan tugasnya, mengingatkan manusia bahwa ada hukum yang lebih kekal dan adil. aku menyebutnya Hukum Langit. tapi manusia, lambat laun belajar menjadi kuat. hingga sisa-sisa guntur ini tak menganggunya. harus para ksatria guntur yang mengingatkan. itupun kadang hanya ditanggapi dengan angin lalu.
dan awan masih kelabu. inilah saat-saat awan terlihat sangat buruk, seperti seonggok bubur. bayangkan saja bubur berwarna kelabu. perpaduan antara bubur yang sama sekali tak berbentuk, dan warna kelabu yang muram. ironis. tapi tunggulah beberapa saat, awan akan kembali memperlihatkan beraneka bentuk raganya. kuda yang sedang berlarian, payung, bunga, bayi, tanda panah. ahh, banyak sekali. tak bisa aku sebutkan semuanya. sering aku mencoba memindahkan bentuknya kedalam mata kamera, api tentu saja tidak seelok nyatanya. dan coba lihat, ketika menjelang tenggelamnya sang bola emas, akan terlihat sepercik sinar-sinar yang menerobos awan sia-sia. banyak yang memuji sang bola emas karna elok sinarnya. tapi bayangkan sinar emas itu terpapar begitu saja. tak ada keindahan disana. maka berterimakasihlah pada sang awan. pada permainan petak umpet keduanya, yang menghiasi kanvas para manusia lukis.
kali ini, kilat tak muncul. entahlah, barangkali lelah merekam ekspresi manusia saat tiba hujan. barangkali tak jua muncul ekspresi yang ia harapkan. atau ia tak perlu lagi merekamnya, sebab telah lihai menebak manusia.
diluar tinggal rintik kecil.
dan kubiarkan pertunjukkan hujan kali ini membungkam mulutku.
fatal
ditemani kopi hangat dan setangkup roti bakar, dia menyendiri di pojok ruangan. tempat favoritnya. sofa yang empuk, lampu temaram dan suasana yang sepi. tepat untuk acara renung merenung, batinnya. oke, dia memulai membuat list. yang pertama terpikir adalah kebenciannya pada pekerjaan barunya. membuatnya merasa seperti tercekik setiap hari, bahkan tidak berhenti hingga dia tertidur karena kelelahan. kemudian adalah keinginannya untuk keluar dari pekerjaan tersebut. tapi tidak mungkin mengingat daftar job list yang belum ia selesaikan, meskipun sebenarnya ia sudah sangat malas dan sebal untuk menyelesaikannya. lalu ia teringat pada kehidupannya yang secara finansial kurang menyenangkan. jelas, ia harus berbagi uang dengan adikadiknya. adiknya masih ada empat, dan kakak-kakaknya terlalu sibuk dengan dirinya sendiri hingga lupa bahwa sebenarnya ia masih punya banyak adik untuk ia hidupi. dan ia mencoba untuk tidak mengingat kedua orangtuanya. lalu tiba-tiba semuanya menghambur begitu saja. mimpi, uang, keluarga, sekolah, Rakka, tuntutan, masa depan. gelap.
kopinya hampir tandas, rotinya sudah sedari tadi memenuhi lambungnya. jika sudah selesai, biasanya ritual ini akan diakhiri dengan menghela nafas panjang dan menangis.
dia kalut, cemas, bingung, dan terlalu banyak pertimbangan. bukan sekali dua ini dia terpekur melihat kehidupannya dari jarak dekat. dia sering melakukannya, cukup sering. hanya pemicunya saja yang berbeda-beda. kadang soal uang, kadang tentang mimpi. sekali waktu soal Rakka, rencana pernikahan mereka, keluarga Rakka, keluarganya. atau kadang semuanya menghambur begitu saja ke dalam pikirannya, just like now.
lalu pertanyaan tentang diri sendiri terasa lebih menusuk dan terlalu menunggu jawaban segera. jauh lebih mendesak dibandingkan soal uang. baginya uang bukanlah tujuan. uang hanyalah alat tukar. alat tukar untuk kebebasan, harga diri, cinta, prestise maupun kehidupan itu sendiri. ia berfikir tentang banyak hal, selalu seperti itu. kesalahannya cuma satu: ia tak pernah melangkah.
dan itu fatal.
tibatiba
tiba-tiba saja ia berontak.
tiba-tiba saja ia sanggup lepaskan semua ikatan yang menghalanginya untuk bergerak.
lalu ia berlari, menghampiri pintu.
tidak, bukan membukanya, itu terlalu lembut untuknya.
ia menubruknya, seakan pintu tersebut hanyalah terbuat dari selembar pelepah daun tua saja.
tak ada yang menyangka sebelumnya, bahwa ia punya kekuatan yang sedemikian dahsyat.
pun dengan tujuan perginya, tak ada yang tau.
selama ini, ia dikurung.
tak mampu melawan, tak punya senjata dan mungkin ia memang selama sebelum ini tak ingin melawan.
ia diam, dan diam.
bahkan berontak secara lisan pun tidak.
ah, jangankan lisan, secara pikiran pun ia tak melawan.
maka, siapa yang menyangka ia bisa begini beringas?
****
tiba-tiba saja semua orang melunak.
tiba-tiba saja aku menemukan kekuatanku.
ini kesempatan yang aku tunggu-tunggu.
aku harus lari!
***
tahukah kau, sebuah hukum?
yang ketika sesuatu ditekan semakin dalam, justru dia akan melompat semakin tinggi.
itu hukum pegas, kawan.
dan kenapa?
aku pernah diberi tau, oleh salah seorang guruku, bahwa kadang, kenyamanan membuat kita lupa pada mimpi-mimpi kita. aku menambahkan, pada kadar tertentu, kadang malah lupa pada dirinya sendiri.
dan kadang, yang terbaik adalah melepaskan kenyamanan itu. meski untuk sementara. untuk kembali menjalani hidup yang sebenar-benar hidup. merasai sari pati hidup. dan merasai sari pati hidup, hanya bisa dirasakan bila setiap orang sudah berdiri sebagai dirinya sendiri.
dan melepaskan kenyamanan, bila untuk menjadi seorang pengusaha, adalah melepas ikatan kepegawaian yang telah melekat.
pada bilabila yang lain, melepas kenyamanan, adalah pergi dari lingkungannya selama ini. menjalani hidup yang baru. pergi dari lingkungan mean daerah tempat ia tinggal, tempat ia bermain, bisa juga teman-teman di sekitarnya.
dan kenapa harus melepas kenyamanan?
untuk mencari tau kita yang sebenarnya. jangan-jangan selama ini kita hidup, dengan tidak menjadi diri sendiri. bertopeng. kalau bertopeng seperti di pertunjukan drama, tak apa. tapi kalau kita terusmenerus memakai topeng, dan tak tau wajah seperti apa yang sebenarnya tersembunyi dibalik topeng.
bukankah itu menyeramkan, dan menyedihkan?
dan, melepas kenyamanan, semengerti apapun kita terhadap teorinya, terhadap kebaikan dibaliknya, tetap penuh kejutan ketika menjalaninya. bahkan kadang kesusahan, untuk sekedar memulainya.
cuma masalah waktu
ibarat sebuah perjalanan wisata. nanti kita akan menemukan banyak tempat yang menarik, tapi hanya akan ada satu tempat yang ingin kita datangi lagi.
pun dengan "perjalanan" ini. ada banyak hal yang bikin aku berbelok, dan bikin aku mengira, inilah aku, jalanku dan diriku.
tapi, seiring dengan roda yang berputar, kita akan menemukan satu demi satu puzzle, yang ketika puzzle itu lengkap, nanti akan membentuk 'diri kita yang sesungguhnya'
karna pencarian akan diri sendiri gak akan pernah selesai, kecuali sudah tak ada yang berdetak didalam dada. maka, selama kita masih bisa berfikir, akan selalu mencari diri kita, yang seutuhnya.
hari ini, satu lagi potongan puzzle-ku, aku temukan.
hanya masalah waktu, aku akan menemukan yang lain, dan melengkapinya.
cuma masalah waktu.